RAJA KEDIRI
Maharaja Jayabhaya adalah raja Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157. Nama gelar lengkapnya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kadiri. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135), prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha (1157).
Pintu Gerbang Petilasan Jayabaya
Pada prasasti Hantang, atau biasa juga disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya Kadiri menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang melawan Janggala. Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kadiri.
Kemenangan Jayabhaya atas Janggala disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Korawa dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh tahun 1157. Nama besar Jayabhaya tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa, sehingga namanya muncul dalam kesusastraan Jawa zaman Mataram Islam atau sesudahnya sebagai Prabu Joyoboyo.
Contoh naskah yang menyinggung tentang Prabu Joyoboyo adalah Babad Tanah Jawi dan Serat Aji Pamasa. Dikisahkan Joyoboyo adalah titisan Wisnu. Negaranya bernama Widarba yang beribu kota di Mamenang. Ayahnya bernama Gendrayana, putra Yudayana, putra Parikesit, putra Abimanyu, putra Arjuna dari keluarga Pandawa. Permaisuri Joyoboyo bernama Dewi Sara. Lahir darinya Jayaamijaya, Dewi Pramesti, Dewi Pramuni, dan Dewi Sasanti. Jayaamijaya menurunkan raja-raja tanah Jawa, bahkan sampai Majapahit dan Mataram Islam. Sedangkan Pramesti menikah dengan Astradarma raja Yawastina, melahirkan Anglingdarma raja Malawapati.
Joyoboyo turun takhta pada usia tua. Ia dikisahkan moksha di desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Tempat petilasannya tersebut dikeramatkan oleh penduduk setempat dan masih ramai dikunjungi sampai sekarang. Prabu Joyoboyo adalah tokoh yang identik dengan ramalan masa depan Nusantara. Terdapat beberapa naskah yang berisi “Ramalan Joyoboyo”, antara lain Serat Joyoboyo Musarar, Serat Pranitiwakya, dan lain sebagainya.
Dikisahkan dalam Serat Joyoboyo Musarar, pada suatu hari Joyoboyo berguru pada seorang ulama bernama Maolana Ngali Samsujen. Dari ulama tersebut, Joyoboyo mendapat gambaran tentang keadaan Pulau Jawa sejak zaman diisi oleh Aji Saka sampai datangnya hari Kiamat. Dari nama guru Joyoboyo di atas dapat diketahui kalau naskah serat tersebut ditulis pada zaman berkembangnya Islam di Pulau Jawa.
Tidak diketahui dengan pasti siapa penulis ramalan-ramalan Joyoboyo. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat saat itu untuk mematuhi ucapan tokoh besar. Maka, si penulis naskah pun mengatakan kalau ramalannya adalah ucapan langsung Prabu Joyoboyo, seorang raja besar dari Kediri. Tokoh pujangga besar yang juga ahli ramalan dari Surakarta bernama Ranggawarsita sering disebut sebagai penulis naskah-naskah Ramalan Joyoboyo. Akan tetapi, Ranggawarsita biasa menyisipkan namanya dalam naskah-naskah tulisannya, sedangkan naskah-naskah Ramalan Joyoboyo pada umumnya bersifat anonim.
Ramalan Joyoboyo atau sering disebut Jangka Joyoboyo adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang salah satunya dipercaya ditulis oleh Joyoboyo, raja Kerajaan Kediri. Ramalan ini dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa yg dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga .Asal Usul utama serat jangka Joyoboyo dapat dilihat pada kitab Musasar yg digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan keasliannya tapi sangat jelas bunyi bait pertama kitab Musasar yg menuliskan bahwasanya Joyoboyolah yg membuat ramalan-ramalan tersebut. “
Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Joyoboyo di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.” Meskipun demikian, kenyataannya dua pujangga yang hidup sezaman dengan Prabu Joyoboyo, yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, sama sekali tidak menyebut dalam kitab-kitab mereka:
Kakawin Bharatayuddha, Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya, bahwa Prabu Joyoboyo memiliki karya tulis. Kakawin Bharatayuddha hanya menceritakan peperangan antara kaum Korawa dan Pandawa yang disebut peperangan Bharatayuddha. Sedangkan Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya berisi tentang cerita ketika sang prabu Kresna, titisan batara Wisnu ingin menikah dengan Dewi Rukmini, dari negeri Kundina, putri prabu Bismaka. Rukmini adalah titisan Dewi Sri.
Dari berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai Ramalan Joyoboyo, maka pada umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3) yang kumpulkannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H = 1618 M, hanya selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarah Majapahit dan Singosari yang ditulis di pulau Bali 1535 Saka atau 1613 M.
Jadi penulisan sumber ini sudah sejak jamannya Sultan Agung dari Mataram bertahta (1613-1645 M). Kitab Jangka Joyoboyo pertama dan dipandang asli, adalah dari buah karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang dikarangnya pada tahun 1666-1668 Jawa = 1741-1743 M. Sang Pujangga ini memang seorang pangeran yang bebas. Mempunyai hak merdeka, yang artinya punya kekuasaan wilayah “Perdikan” yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak.
Memang beliau keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila beliau dapat mengetahui sejarah leluhurnya dari dekat, terutama tentang riwayat masuknya Sang Brawijaya terakhir (ke-5) mengikuti agama baru, Islam, sebagai pertemuan segitiga antara Sunan Kalijaga, Brawijaya ke-V dan Penasehat Sang Baginda benama Sabda Palon dan Nayagenggong. Disamping itu beliau menjabat sebagai Kepala Jawatan Pujangga Keraton Kartasura tatkala jamannya Sri Paku Buwana II (1727-1749). Hasil karya sang Pangeran ini berupa buku-buku misalnya, Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah Empu, dll.
Tatkala Sri Paku Buwana I naik tahta (1704-1719) yang penobatannya di Semarang, Gubernur Jenderalnya benama van Outhoorn yang memerintah pada tahun 1691-1704. Kemudian diganti G.G van Hoorn (1705-1706), Pangerannya Sang Pujangga yang pada waktu masih muda. Didatangkan pula di Semarang sebagai Penghulu yang memberi Restu untuk kejayaan Keraton pada tahun 1629 Jawa = 1705 M, yang disaksikan GG. Van Hoorn. Ketika keraton Kartasura akan dipindahkan ke desa Sala, sang Pujangga diminta pandapatnya oleh Sri Paku Buwana II. Ia kemudian diserahi tugas dan kewajiban sebagai peneliti untuk menyelidiki keadaan tanah di desa Sala, yang terpilih untuk mendirikan keraton yang akan didirikan tahun 1669 Jawa (1744 M).
Sang Pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7 Maulud Tahun Be Jam’iah 1672 Jawa 1747 M, yang pada jamannya Sri Paku Buwono 11 di Surakarta. Kedudukannya sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh puteranya sendiri yakni Pangeran Soemekar, lalu berganti nama Pangeran Wijil II di Kadilangu (Pangeran Kadilangu III), sedangkan kedudukannya sebagai pujangga keraton Surakarta diganti oleh Ngabehi Yasadipura I, pada hari Kemis Legi,10 Maulud Tahun Be 1672 Jawa = 1747 M. Jangka Joyoboyo yang kita kenal sekarang ini adalah gubahan dari Kitab Musarar, yang sebenarnya untuk menyebut “Kitab Asrar” Karangan Sunan Giri ke-3 tersebut.
Selanjutnya para pujangga dibelakang juga menyebut nama baru itu. Kitab Asrar itu memuat lkhtisar (ringkasan) riwayat negara Jawa, yaitu gambaran gilir bergantinya negara sejak jaman purbakala hingga jatuhnya Majapahit lalu diganti dengan Ratu Hakikat ialah sebuah kerajaan Islam pertama di Jawa yang disebut sebagai ”Giri Kedaton”. Giri Kedaton ini nampaknya Merupakan jaman peralihan kekuasaan Islam pertama di Jawa yang berlangsung antara 1478-1481 M, yakni sebelum Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan di Demak oleh para Wali pada 1481 M.
Namun demikian adanya keraton Islam di Giri ini masih bersifat ”Hakikat” dan diteruskan juga sampai jaman Sunan Giri ke-3. Sejak Sunan Giri ke-3 ini praktis kekuasaannya berakhir karena penaklukkan yang dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram; Sejak Raden Patah naik tahta (1481) Sunan Ratu dari Giri Kedatan ini lalu turun tahta kerajaan, diganti oleh Ratu seluruh jajatah, ialah Sultan di Demak, Raden Patah. Jadi keraton di Giri ini kira-kira berdiri antara 1478-1481 M atau lebih lama lagi, yakni sejak Sunan Giri pertama mendirikannya atau mungkin sudah sejak Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M (882 H).
Setelah kesultanan Demak jatuh pada masa Sultan Trenggono, lalu tahta kerajaan jatuh ke tangan raja yang mendapat julukan sebagai “Ratu Bobodo”) ialah Sultan Pajang. Disebut demikian karena pengaruh kalangan Ki Ageng yang berorientasi setengah Budha/Hindu dan setengah Islam di bawah pengaruh kebatinan Syech Siti Jenar, yang juga hendak dibasmi pengaruhnya sejak para Wali masih hidup. Setelah Kerajaan ini jatuh pula, lalu di ganti oleh penguasa baru yakni, Ratu Sundarowang ialah Mataram bertahta dengan gelar Prabu Hanyokro Kusumo (Sultan Agung) yang berkuasa di seluruh Jawa dan Madura.
Di kelak kemudian hari (ditinjau, dari sudut alam pikiran Sri Sultan Agung dari Mataram ini) akan muncullah seorang raja bertahta di wilayah kerajaan Sundarowang ini ialah seorang raja Waliyullah yang bergelar Sang Prabu Herucakra yang berkuasa di seluruh Jawa-Madura, Patani dan Sriwijaya. Wasiat Sultan Agung itu mengandung kalimat ramalan, bahwa kelak sesudah beliau turun dari tahta, kerajaan besar ini akan pulih kembali kewibawaannya, justru nanti dijaman jauh sesudah Sultan Agung wafat. Ini berarti raja-raja pengganti beliau dinilai (secara pandangan batin) sebagai raja-raja yang tidak bebas merdeka lagi.
Bisa kita maklumi, karena pada tahun-tahun berikutnya praktis Mataram sudah menjadi negara boneka VOC yang menjadi musuh Sultan Agung (ingat perang Sultan Agung dengan VOC tahun 1628 & 1629 yang diluruk ke Jakarta/ Batavia oleh Sultan Agung). Oleh Pujangga, Kitab Asrar digubah dan dibentuk lagi dengan pendirian dan cara yang lain, yakni dengan jalan mengambil pokok/permulaan cerita Raja Joyoboyo dari Kediri. Nama mana diketahui dari Kakawin Bharatayudha, yang dikarang oleh Mpu Sedah pada tahun 1079 Saka = 1157 M atas titah Sri Joyoboyo di Daha/ Kediri.
Setelah mendapat pathokan/data baru, raja Joyoboyo yang memang dikenal masyarakat sebagai pandai meramal, sang pujangga (Pangeran Wijil) lalu menulis kembali, dengan gubahan “JANGKA JOYOBOYO” dengan ini yang dipadukan antara sumber Serat Bharatayudha dengan kitab Asrar serta gambaran pertumbuhan negara-negara dikarangnya sebelumnya dalam bentuk babad. Lalu dari hasil, penelitiannya dicarikan Inti sarinya dan diorbitkan dalam bentuk karya-karya baru dengan harapan dapat menjadi sumber semangat perjuangan bagi generasi anak cucu di kemudian hari.
Cita-cita yang pujangga yang dilukiskan sebagai jaman keemasan itu, jelas bersumber semangat dari gambaran batin Sultan Agung. Jika kita teliti secara kronologi, sekarang ternyata menunjukan gambaran sebuah negara besar yang berdaulat penuh yang kini benama “REPUBLIK INDONESIA”!. Kedua sumber yang diperpadukan itu ternyata senantiasa mengilhami para pujangga yang hidup diabad-abad kemudian, terutama pujangga terkenal R.Ng., cucu buyut pujangga Yasadipura I pengganti Pangeran Wijil I.
Jangka Joyoboyo dari Kitab Asrar ini sungguh diperhatikan benar-benar oleh para pujangga di Surakarta dalam abad 18/19 M dan sudah terang Merupakan sumber perpustakaan dan kebudayaan Jawa baru. Hal ini ternyata dengan munculnya karangan-karangan baru, Kitab Asrar/Musarar dan Joyoboyo yang hanya bersifat ramalan belaka. Sehingga setelah itu tumbuh bermacam-macam versi teristimewa karangan baru Serat Jayabaya yang bersifat hakikat bercampur jangka atau ramalan, akan tetapi dengan ujaran yang dihubungkan dengan lingkungan historisnya satu sama lain sehingga merupakan tambahan riwayat buat negeri ini.
Semua itu telah berasal dari satu sumber benih, yakni Kitab Asrar karya Sunan Giri ke-3 dan Jangka Jayabaya gubahan dari kitab Asrar tadi, plus serat Mahabarata karangan Mpu Sedah & Panuluh. Dengan demikian, Jangka Jayabaya ini ditulis kembali dengan gubahan oleh Pangeran Wijil I pada tahun 1675 Jawa (1749 M) bersama dengan gubahannya yang berbentuk puisi, yakni Kitab Musarar. Dengan begitu menjadi jelaslah apa yang kita baca sekarang ini. Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.
Beliau sakti sebab titisan Batara wisnu. Waktu itu Sang Prabu menjadi raja agung, pasukannya raja-raja. Terkisahkan bahwa Sang Prabu punya putra lelaki yang tampan. Sesudah dewasa dijadikan raja di Pagedongan. Sangat raharja negara-nya. Hal tersebut menggembirakan Sang Prabu. Waktu itu tersebutkan Sang Prabu akan mendapat tamu, seorang raja pandita dari Rum bernama, Sultan Maolana. Lengkapnya bernama Ngali Samsujen. Kedatangannya disambut sebaik-baiknya. Sebab tamu tersebut seorang raja pandita lain bangsa pantas dihormati.
Setelah duduk Sultan Ngali Samsujen berkata: “Sang Prabu Jayabaya, perkenankan saya memberi petuah padamu mengenai Kitab Musarar. Yang menyebutkan tinggal tiga kali lagi kemudian kerajaanmu akan diganti oleh orang lain”. Sang Prabu mendengarkan dengan sebaik-baiknya. Karena beliau telah mengerti kehendak Dewata. Sang Prabu segera menjadi murid sang Raja Pandita. Segala isi Kitab Musarar sudah diketahui semua. Beliaupun ingat tinggal menitis 3 kali. Kelak akan diletakkan dalam teken Sang Pandita yang ditinggal di Kakbah yang membawa Imam Supingi untuk menaikkan kutbah, Senjata ecis itu yang bernama Udharati. Kelak kemudian hari ada Maolana masih cucu Rasul yang mengembara sampai ke P. Jawa membawa ecis tersebut. Kelak menjadi punden Tanah Jawa.
Raja Pandita pamit dan musnah dari tempat duduk. Kemudian terkisahkan setelah satu bulan Sang Prabu memanggil putranya. Setelah sang putra datang lalu diajak ke gunung Padang. Ayah dan putra itu setelah datang lalu naik ke gunung. Di sana ada Ajar bernama Ajar Subrata. Menjemput Prabu Joyoboyo seorang raja yang berincoknito termasuk titisan Batara Wisnu. Karenanya Sang Prabu sangat waspada, tahu sebelum kejadian mengenai raja-raja karena Sang Prabu menerima sasmita gaib.
Bila Islam seperti Nabi. Prabu Jayabaya bercengkrama di gunung sudah lama. Bertemu dengan Ki Ajar di gunung Padang. Yang bertapa brata sehingga apa yang dikehendaki terjadi.Tergopoh-g opoh menghormati. Setelah duduk Ki Ajar memanggil seorang endang yang membawa sesaji. Berwarna-warni isinya. Tujuh warna-warni dan lengkap delapan dengan endangnya. Jadah (ketan) setakir, bawang putih satu talam, kembang melati satu bungkus, darah sepitrah, kunir sarimpang, sebatang pohon kajar dan kembang mojar satu bungkus. Kedelapan endang seorang.
Kemudian Ki Ajar menghaturkan sembah : “Inilah hidangan kami untuk sang Prabu”. Sang Prabu waspada kemudian menarik senjata kerisnya. Ki Ajar ditikam mati. Demikian juga endangnya. Keris kemudian dimasukkan lagi. Cantrik-cantrik berlarian karena takut. Sedangkan raja putra kecewa melihat perbuatan ayahnya. Sang putra akan bertanya merasa takut. Kemudian merekapun pulang. Datang di kedaton Sang Prabu berbicara dengan putranya. Heh anakku. Kamu tahu ulah si Ajar yang saya bunuh. Sebab berdosa kepada guru saya Sultan Maolana Ngali Samsujen tatkala masih muda. Dia itu sudah diwejang (diberitahu) oleh guru mengenai kitab Musarar. Sama seperti saya. Namun dia menyalahi janji, musnah raja-raja di P. Jawa. Toh saya sudah diberitahu bahwa saya tinggal 3 kali lagi.
Bila sudah menitis tiga kali kemudian ada jaman lagi bukan perbuatan saya. Sudah dikatakan oleh Maolana Ngali tidak mungkin berobah lagi. Diberi lambang Jaman Catur semune segara asat. Itulah Jenggala, Kediri, Singasari dan Ngurawan. Empat raja itu masih kekuasaan saya. Negaranya bahagia diatas bumi. Menghancurkan keburukan. Setelah 100 tahun musnah keempat kerajaan tersebut. Kemudian ada jaman lagi yang bukan milik saya, sebab saya sudah terpisah dengan saudara-saudara ditempat yang rahasia.
Di dalam teken sang guru Maolana Ngali. Demikian harap diketahui oleh anak cucu bahwa akan ada jaman Anderpati yang bernama Kala-wisesa. Lambangnya: Sumilir naga kentir semune liman pepeka. Itu negara Pajajaran. Negara tersebut tanpa keadilan dan tata negara, Setelah seratus tahun kemudian musnah. Sebab berperang dengan saudara. Hasil bumi diberi pajak emas. Sebab saya mendapat hidangan Kunir sarimpang dari ki Ajar. Kemudian berganti jaman di Majapahit dengan rajanya Prabu Brawijaya.
Demikian nama raja bergelar Sang Rajapati Dewanata. Alamnya disebut Anderpati, lamanya sepuluh windu (80 tahun). Hasil negara berupa picis (uang). Ternyata waktu itu dari hidangan ki Ajar. Hidangannya Jadah satu takir. Lambangnya waktu itu Sima galak semune curiga ketul. Kemudian berganti jaman lagi. Di Gelagahwangi dengan ibukota di Demak. Ada agama dengan pemimpinnya bergelar Diyati Kalawisaya. Enam puluh lima tahun kemudian musnah. Yang bertahta Ratu Adil serta wali dan pandita semuanya cinta. Pajak rakyat berupa uang. Temyata saya diberi hidangan bunga Melati oleh ki Ajar.
Negara tersebut diberi lambang: Kekesahan durung kongsi kaselak kampuhe bedah. Kemudian berganti jaman Kalajangga. Beribukota Pajang dengan hukum seperti di Demak. Tidak diganti oleh anaknya. 36 tahun kemudian musnah. Negara ini diberi lambang: cangkrama putung watange. Orang di desa terkena pajak pakaian dan uang. Sebab ki Ajar dahulu memberi hidangan sebatang pohon kajar. Kemudian berganti jaman di Mataram. Kalasakti Prabu Anyakrakusuma. Dicintai pasukannya. Kuat angkatan perangnya dan kaya, disegani seluruh bangsa Jawa. Bahkan juga sebagai gantinya Ajar dan wali serta pandita, bersatu dalam diri Sang Prabu yang adil.
Raja perkasa tetapi berbudi halus. Rakyat kena pajak reyal. Sebab waktu itu saya mendapat hidangan bawang putih dari ki Ajar. Rajanya diberi gelar: Sura Kalpa semune lintang sinipat. Kemudian berganti lagi dengan lambang: Kembang sempol Semune modin tanpa sreban. Raja yang keempat yang penghabisan diberi lambang Kalpa sru kanaka putung. Seratus tahun kemudian musnah sebab melawan sekutu. Kemudian ada nakhoda yang datang berdagang.
Berdagang di tanah Jawa kemudian mendapat sejengkal tanah. Lama kelamaan ikut perang dan selalu menang, sehingga terpandang di pulau Jawa. Jaman sudah berganti meskipun masih keturunan Mataram. Negara bernama Nyakkrawati dan ibukota di Pajang. Raja berpasukan campur aduk. Disegani setanah Jawa. Yang memulai menjadi raja dengan gelar Layon keli semune satriya brangti. Kemudian berganti raja yang bergelar: semune kenya musoni. Tidak lama kemudian berganti.
Nama rajanya Lung Gadung Rara Nglikasi(Raja yang penuh inisiatif dalam segala hal, namun memiliki kelemahan suka wanita) kemudian berganti Gajah Meta Semune Tengu Lelaki (Raja yang disegani/ditakuti, namun nista.) Enam puluh tahun menerima kutukan sehingga tenggelam negaranya dan hukum tidak karu-karuan. Waktu itu pajaknya rakyat adalah Uang anggris dan uwang. Sebab saya diberi hidangan darah sepitrah. Kemudian negara geger. Tanah tidak berkasiat, pemerintah rusak. Rakyat celaka. Bermacam-macam bencana yang tidak dapat ditolak.
Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat. Bupati berdiri sendiri-sendiri. Kemudian berganti jaman Kutila. Rajanya Kara Murka(Raja-raja yang saling balas dendam.). Lambangnya Panji Loro Semune Pajang Mataram(Dua kekuatan pimpinan yang saling jegal ingin menjatuhkan). Nakhoda (Orang asing)ikut serta memerintah. Punya keberanian dan kaya. Sarjana (Orang arif dan bijak) tidak ada. Rakyat sengsara. Rumah hancur berantakan diterjang jalan besar. Kemudian diganti dengan lambang Rara ngangsu , randa loro nututi pijer tetukar(( Ratu yang selalu diikuti/diintai dua saudara wanita tua untuk menggantikannya).
Tidak berkesempatan menghias diri(Raja yang tidak sempat mengatur negara sebab adanya masalah-masalah yang merepotkan ), sinjang kemben tan tinolih itu sebuah lambang yang menurut Seh Ngali Samsujen datangnya Kala Bendu. Di Semarang Tembayat itulah yang mengerti/memahami lambang tersebut. Pajak rakyat banyak sekali macamnya. Semakin naik. Panen tidak membuat kenyang. Hasilnya berkurang. orang jahat makin menjadi-jadi Orang besar hatinya jail. Makin hari makin bertambah kesengsaraan negara.
Hukum dan pengadilan negara tidak berguna. Perintah berganti-ganti. Keadilan tidak ada. Yang benar dianggap salah. Yang jahat dianggap benar. Setan menyamar sebagai wahyu. Banyak orang melupakan Tuhan dan orang tua. Wanita hilang kehormatannya. Sebab saya diberi hidangan Endang seorang oleh ki Ajar. Mulai perang tidak berakhir. Kemudian ada tanda negara pecah. Banyak hal-hal yang luar biasa. Hujan salah waktu. Banyak gempa dan gerhana. Nyawa tidak berharga. Tanah Jawa berantakan. Kemudian raja Kara Murka Kutila musnah.
Kemudian kelak akan datang Tunjung putih semune Pudak kasungsang(Raja berhati putih namun masih tersembunyi). Lahir di bumi Mekah(Orang Islam yang sangat bertauhid). Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan. Raja keturunan waliyullah. Berkedaton dua di Mekah dan Tanah Jawa(Orang Islam yang sangat menghormati leluhurnya dan menyatu dengan ajaran tradisi Jawa (kawruh Jawa)). Letaknya dekat dengan gunung Perahu, sebelah barat tempuran. Dicintai pasukannya. Memang raja yang terkenal sedunia.
Waktu itulah ada keadilan. Rakyat pajaknya dinar sebab saya diberi hidangan bunga seruni oleh ki Ajar. Waktu itu pemerintahan raja baik sekali. Orangnya tampan senyumnya manis sekali.
RAMALAN JOYOBOYO
PETILASAN JOYOBOYO
Petilasan Sri Aji Joyoboyo terletak di desa Menang, Pagu, kabupaten Kediri, Jawa Timur, sekitar ± 8 km ke arah timur dari kota Kediri. Jadilah tempat dimana Sri Aji Joyoboyo loka mukso. Loka mukso artinya hilang bersama dengan jasadnya.
Saat ini setiap 1 Suro diadakan upacara adat yang dilakukan oleh Yayasan Hontodento – Yogyakarta bersama dengan pemerintah kabupaten Kediri, dan menjadi obyek wisata yang selalu penuh pengunjungnya. Di obyek wisata ini pengunjung dapat menyaksikan bangunan peninggalan kerajaan Kediri, seperti tempat mukso, bangunan balai – balai dan kuluk dengan tinggi 4 meter.
Upacara adat itu berupa kirab atau iring-iringan dari kraton Yogyakarta. Kirab Tombak Kiai Bimo menjadi salah satu ritual di dalamnya. Sekitar 500 orang yang menghadirinya berebut kembang sisa ritual, dengan harapan menjadi berkah dalam kehidupannya.
Tombak Kiai Bimo sendiri merupakan salah satu peninggalam Prabu Sri Aji Joyoboyo yang penemuannya terjadi hampir bersamaan dengan ditemukannya petilasan tempat Prabu Joyoboyo muksa. Pusaka ini berwujud kayu melengkung yang terbuat dari batang pohon sambi, yang konon berdiri di sekitar petilasan. Selama ini Tombak Kiai Bimo disimpan di Kantor Yayasan Hontodento yang didirikan sekelompok orang pengikut setia sang prabu, dan berkedudukan di Yogyakarta.
Kirab Tombak Kiai Bimo sendiri diawali dari Balai Desa Pamenang ke lokasi pamuksan yang berjarak sekitar 300 meter. Sesampainya di lokasi, kegiatan dilanjutkan dengan tabur kembang setaman oleh 16 bocah perempuan yang belum baligh, sehingga diyakini masih suci. Setelah tabur bunga oleh 16 bocah, acara puncak diawali dengan pemanjatan niat oleh pimpinan ritual, caos dahar berupa tabur bunga oleh pengurus Yayasan Hontodento, dan diakhiri dengan penyemayaman Tombak Kiai Bimo di lokasi pamuksan, sebelum akhirnya dibawa kembali ke Balai Desa Pamenang dan disimpan ulang di Yogyakarta.
Seiring berakhirnya ritual, ratusan orang yang hadir di dalamnya diizinkan berebut kembang setaman dan melati yang disebar di lokasi pamuksan dan halaman di sekitarnya. Muncul kepercayaan, kembang tersebut akan menghadirkan ketenangan dalam menjalani hidup, serta memudahkan untuk terkabulkannya sebuah permintaan. Menurut cerita, Tirta Kamandanu ini adalah tempat mandinya atau bersucinya Sri Aji Jayabaya sebelum beliau muksa.
Beberapa tahun yang lalu, sumber air di Tirta Kamandanu ini masih mengeluarkan air, tapi entah mengapa sekarang sumber air itu ditutup dengan batu, kolamnya kering.(wikipedia)
Maharaja Jayabhaya adalah raja Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157. Nama gelar lengkapnya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kadiri. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135), prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha (1157).
Pintu Gerbang Petilasan Jayabaya
Pada prasasti Hantang, atau biasa juga disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya Kadiri menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang melawan Janggala. Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kadiri.
Kemenangan Jayabhaya atas Janggala disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Korawa dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh tahun 1157. Nama besar Jayabhaya tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa, sehingga namanya muncul dalam kesusastraan Jawa zaman Mataram Islam atau sesudahnya sebagai Prabu Joyoboyo.
Contoh naskah yang menyinggung tentang Prabu Joyoboyo adalah Babad Tanah Jawi dan Serat Aji Pamasa. Dikisahkan Joyoboyo adalah titisan Wisnu. Negaranya bernama Widarba yang beribu kota di Mamenang. Ayahnya bernama Gendrayana, putra Yudayana, putra Parikesit, putra Abimanyu, putra Arjuna dari keluarga Pandawa. Permaisuri Joyoboyo bernama Dewi Sara. Lahir darinya Jayaamijaya, Dewi Pramesti, Dewi Pramuni, dan Dewi Sasanti. Jayaamijaya menurunkan raja-raja tanah Jawa, bahkan sampai Majapahit dan Mataram Islam. Sedangkan Pramesti menikah dengan Astradarma raja Yawastina, melahirkan Anglingdarma raja Malawapati.
Joyoboyo turun takhta pada usia tua. Ia dikisahkan moksha di desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Tempat petilasannya tersebut dikeramatkan oleh penduduk setempat dan masih ramai dikunjungi sampai sekarang. Prabu Joyoboyo adalah tokoh yang identik dengan ramalan masa depan Nusantara. Terdapat beberapa naskah yang berisi “Ramalan Joyoboyo”, antara lain Serat Joyoboyo Musarar, Serat Pranitiwakya, dan lain sebagainya.
Dikisahkan dalam Serat Joyoboyo Musarar, pada suatu hari Joyoboyo berguru pada seorang ulama bernama Maolana Ngali Samsujen. Dari ulama tersebut, Joyoboyo mendapat gambaran tentang keadaan Pulau Jawa sejak zaman diisi oleh Aji Saka sampai datangnya hari Kiamat. Dari nama guru Joyoboyo di atas dapat diketahui kalau naskah serat tersebut ditulis pada zaman berkembangnya Islam di Pulau Jawa.
Tidak diketahui dengan pasti siapa penulis ramalan-ramalan Joyoboyo. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat saat itu untuk mematuhi ucapan tokoh besar. Maka, si penulis naskah pun mengatakan kalau ramalannya adalah ucapan langsung Prabu Joyoboyo, seorang raja besar dari Kediri. Tokoh pujangga besar yang juga ahli ramalan dari Surakarta bernama Ranggawarsita sering disebut sebagai penulis naskah-naskah Ramalan Joyoboyo. Akan tetapi, Ranggawarsita biasa menyisipkan namanya dalam naskah-naskah tulisannya, sedangkan naskah-naskah Ramalan Joyoboyo pada umumnya bersifat anonim.
Ramalan Joyoboyo atau sering disebut Jangka Joyoboyo adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang salah satunya dipercaya ditulis oleh Joyoboyo, raja Kerajaan Kediri. Ramalan ini dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa yg dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga .Asal Usul utama serat jangka Joyoboyo dapat dilihat pada kitab Musasar yg digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan keasliannya tapi sangat jelas bunyi bait pertama kitab Musasar yg menuliskan bahwasanya Joyoboyolah yg membuat ramalan-ramalan tersebut. “
Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Joyoboyo di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.” Meskipun demikian, kenyataannya dua pujangga yang hidup sezaman dengan Prabu Joyoboyo, yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, sama sekali tidak menyebut dalam kitab-kitab mereka:
Kakawin Bharatayuddha, Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya, bahwa Prabu Joyoboyo memiliki karya tulis. Kakawin Bharatayuddha hanya menceritakan peperangan antara kaum Korawa dan Pandawa yang disebut peperangan Bharatayuddha. Sedangkan Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya berisi tentang cerita ketika sang prabu Kresna, titisan batara Wisnu ingin menikah dengan Dewi Rukmini, dari negeri Kundina, putri prabu Bismaka. Rukmini adalah titisan Dewi Sri.
Dari berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai Ramalan Joyoboyo, maka pada umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3) yang kumpulkannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H = 1618 M, hanya selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarah Majapahit dan Singosari yang ditulis di pulau Bali 1535 Saka atau 1613 M.
Jadi penulisan sumber ini sudah sejak jamannya Sultan Agung dari Mataram bertahta (1613-1645 M). Kitab Jangka Joyoboyo pertama dan dipandang asli, adalah dari buah karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang dikarangnya pada tahun 1666-1668 Jawa = 1741-1743 M. Sang Pujangga ini memang seorang pangeran yang bebas. Mempunyai hak merdeka, yang artinya punya kekuasaan wilayah “Perdikan” yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak.
Memang beliau keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila beliau dapat mengetahui sejarah leluhurnya dari dekat, terutama tentang riwayat masuknya Sang Brawijaya terakhir (ke-5) mengikuti agama baru, Islam, sebagai pertemuan segitiga antara Sunan Kalijaga, Brawijaya ke-V dan Penasehat Sang Baginda benama Sabda Palon dan Nayagenggong. Disamping itu beliau menjabat sebagai Kepala Jawatan Pujangga Keraton Kartasura tatkala jamannya Sri Paku Buwana II (1727-1749). Hasil karya sang Pangeran ini berupa buku-buku misalnya, Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah Empu, dll.
Tatkala Sri Paku Buwana I naik tahta (1704-1719) yang penobatannya di Semarang, Gubernur Jenderalnya benama van Outhoorn yang memerintah pada tahun 1691-1704. Kemudian diganti G.G van Hoorn (1705-1706), Pangerannya Sang Pujangga yang pada waktu masih muda. Didatangkan pula di Semarang sebagai Penghulu yang memberi Restu untuk kejayaan Keraton pada tahun 1629 Jawa = 1705 M, yang disaksikan GG. Van Hoorn. Ketika keraton Kartasura akan dipindahkan ke desa Sala, sang Pujangga diminta pandapatnya oleh Sri Paku Buwana II. Ia kemudian diserahi tugas dan kewajiban sebagai peneliti untuk menyelidiki keadaan tanah di desa Sala, yang terpilih untuk mendirikan keraton yang akan didirikan tahun 1669 Jawa (1744 M).
Sang Pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7 Maulud Tahun Be Jam’iah 1672 Jawa 1747 M, yang pada jamannya Sri Paku Buwono 11 di Surakarta. Kedudukannya sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh puteranya sendiri yakni Pangeran Soemekar, lalu berganti nama Pangeran Wijil II di Kadilangu (Pangeran Kadilangu III), sedangkan kedudukannya sebagai pujangga keraton Surakarta diganti oleh Ngabehi Yasadipura I, pada hari Kemis Legi,10 Maulud Tahun Be 1672 Jawa = 1747 M. Jangka Joyoboyo yang kita kenal sekarang ini adalah gubahan dari Kitab Musarar, yang sebenarnya untuk menyebut “Kitab Asrar” Karangan Sunan Giri ke-3 tersebut.
Selanjutnya para pujangga dibelakang juga menyebut nama baru itu. Kitab Asrar itu memuat lkhtisar (ringkasan) riwayat negara Jawa, yaitu gambaran gilir bergantinya negara sejak jaman purbakala hingga jatuhnya Majapahit lalu diganti dengan Ratu Hakikat ialah sebuah kerajaan Islam pertama di Jawa yang disebut sebagai ”Giri Kedaton”. Giri Kedaton ini nampaknya Merupakan jaman peralihan kekuasaan Islam pertama di Jawa yang berlangsung antara 1478-1481 M, yakni sebelum Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan di Demak oleh para Wali pada 1481 M.
Namun demikian adanya keraton Islam di Giri ini masih bersifat ”Hakikat” dan diteruskan juga sampai jaman Sunan Giri ke-3. Sejak Sunan Giri ke-3 ini praktis kekuasaannya berakhir karena penaklukkan yang dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram; Sejak Raden Patah naik tahta (1481) Sunan Ratu dari Giri Kedatan ini lalu turun tahta kerajaan, diganti oleh Ratu seluruh jajatah, ialah Sultan di Demak, Raden Patah. Jadi keraton di Giri ini kira-kira berdiri antara 1478-1481 M atau lebih lama lagi, yakni sejak Sunan Giri pertama mendirikannya atau mungkin sudah sejak Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M (882 H).
Setelah kesultanan Demak jatuh pada masa Sultan Trenggono, lalu tahta kerajaan jatuh ke tangan raja yang mendapat julukan sebagai “Ratu Bobodo”) ialah Sultan Pajang. Disebut demikian karena pengaruh kalangan Ki Ageng yang berorientasi setengah Budha/Hindu dan setengah Islam di bawah pengaruh kebatinan Syech Siti Jenar, yang juga hendak dibasmi pengaruhnya sejak para Wali masih hidup. Setelah Kerajaan ini jatuh pula, lalu di ganti oleh penguasa baru yakni, Ratu Sundarowang ialah Mataram bertahta dengan gelar Prabu Hanyokro Kusumo (Sultan Agung) yang berkuasa di seluruh Jawa dan Madura.
Di kelak kemudian hari (ditinjau, dari sudut alam pikiran Sri Sultan Agung dari Mataram ini) akan muncullah seorang raja bertahta di wilayah kerajaan Sundarowang ini ialah seorang raja Waliyullah yang bergelar Sang Prabu Herucakra yang berkuasa di seluruh Jawa-Madura, Patani dan Sriwijaya. Wasiat Sultan Agung itu mengandung kalimat ramalan, bahwa kelak sesudah beliau turun dari tahta, kerajaan besar ini akan pulih kembali kewibawaannya, justru nanti dijaman jauh sesudah Sultan Agung wafat. Ini berarti raja-raja pengganti beliau dinilai (secara pandangan batin) sebagai raja-raja yang tidak bebas merdeka lagi.
Bisa kita maklumi, karena pada tahun-tahun berikutnya praktis Mataram sudah menjadi negara boneka VOC yang menjadi musuh Sultan Agung (ingat perang Sultan Agung dengan VOC tahun 1628 & 1629 yang diluruk ke Jakarta/ Batavia oleh Sultan Agung). Oleh Pujangga, Kitab Asrar digubah dan dibentuk lagi dengan pendirian dan cara yang lain, yakni dengan jalan mengambil pokok/permulaan cerita Raja Joyoboyo dari Kediri. Nama mana diketahui dari Kakawin Bharatayudha, yang dikarang oleh Mpu Sedah pada tahun 1079 Saka = 1157 M atas titah Sri Joyoboyo di Daha/ Kediri.
Setelah mendapat pathokan/data baru, raja Joyoboyo yang memang dikenal masyarakat sebagai pandai meramal, sang pujangga (Pangeran Wijil) lalu menulis kembali, dengan gubahan “JANGKA JOYOBOYO” dengan ini yang dipadukan antara sumber Serat Bharatayudha dengan kitab Asrar serta gambaran pertumbuhan negara-negara dikarangnya sebelumnya dalam bentuk babad. Lalu dari hasil, penelitiannya dicarikan Inti sarinya dan diorbitkan dalam bentuk karya-karya baru dengan harapan dapat menjadi sumber semangat perjuangan bagi generasi anak cucu di kemudian hari.
Cita-cita yang pujangga yang dilukiskan sebagai jaman keemasan itu, jelas bersumber semangat dari gambaran batin Sultan Agung. Jika kita teliti secara kronologi, sekarang ternyata menunjukan gambaran sebuah negara besar yang berdaulat penuh yang kini benama “REPUBLIK INDONESIA”!. Kedua sumber yang diperpadukan itu ternyata senantiasa mengilhami para pujangga yang hidup diabad-abad kemudian, terutama pujangga terkenal R.Ng., cucu buyut pujangga Yasadipura I pengganti Pangeran Wijil I.
Jangka Joyoboyo dari Kitab Asrar ini sungguh diperhatikan benar-benar oleh para pujangga di Surakarta dalam abad 18/19 M dan sudah terang Merupakan sumber perpustakaan dan kebudayaan Jawa baru. Hal ini ternyata dengan munculnya karangan-karangan baru, Kitab Asrar/Musarar dan Joyoboyo yang hanya bersifat ramalan belaka. Sehingga setelah itu tumbuh bermacam-macam versi teristimewa karangan baru Serat Jayabaya yang bersifat hakikat bercampur jangka atau ramalan, akan tetapi dengan ujaran yang dihubungkan dengan lingkungan historisnya satu sama lain sehingga merupakan tambahan riwayat buat negeri ini.
Semua itu telah berasal dari satu sumber benih, yakni Kitab Asrar karya Sunan Giri ke-3 dan Jangka Jayabaya gubahan dari kitab Asrar tadi, plus serat Mahabarata karangan Mpu Sedah & Panuluh. Dengan demikian, Jangka Jayabaya ini ditulis kembali dengan gubahan oleh Pangeran Wijil I pada tahun 1675 Jawa (1749 M) bersama dengan gubahannya yang berbentuk puisi, yakni Kitab Musarar. Dengan begitu menjadi jelaslah apa yang kita baca sekarang ini. Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.
Beliau sakti sebab titisan Batara wisnu. Waktu itu Sang Prabu menjadi raja agung, pasukannya raja-raja. Terkisahkan bahwa Sang Prabu punya putra lelaki yang tampan. Sesudah dewasa dijadikan raja di Pagedongan. Sangat raharja negara-nya. Hal tersebut menggembirakan Sang Prabu. Waktu itu tersebutkan Sang Prabu akan mendapat tamu, seorang raja pandita dari Rum bernama, Sultan Maolana. Lengkapnya bernama Ngali Samsujen. Kedatangannya disambut sebaik-baiknya. Sebab tamu tersebut seorang raja pandita lain bangsa pantas dihormati.
Setelah duduk Sultan Ngali Samsujen berkata: “Sang Prabu Jayabaya, perkenankan saya memberi petuah padamu mengenai Kitab Musarar. Yang menyebutkan tinggal tiga kali lagi kemudian kerajaanmu akan diganti oleh orang lain”. Sang Prabu mendengarkan dengan sebaik-baiknya. Karena beliau telah mengerti kehendak Dewata. Sang Prabu segera menjadi murid sang Raja Pandita. Segala isi Kitab Musarar sudah diketahui semua. Beliaupun ingat tinggal menitis 3 kali. Kelak akan diletakkan dalam teken Sang Pandita yang ditinggal di Kakbah yang membawa Imam Supingi untuk menaikkan kutbah, Senjata ecis itu yang bernama Udharati. Kelak kemudian hari ada Maolana masih cucu Rasul yang mengembara sampai ke P. Jawa membawa ecis tersebut. Kelak menjadi punden Tanah Jawa.
Raja Pandita pamit dan musnah dari tempat duduk. Kemudian terkisahkan setelah satu bulan Sang Prabu memanggil putranya. Setelah sang putra datang lalu diajak ke gunung Padang. Ayah dan putra itu setelah datang lalu naik ke gunung. Di sana ada Ajar bernama Ajar Subrata. Menjemput Prabu Joyoboyo seorang raja yang berincoknito termasuk titisan Batara Wisnu. Karenanya Sang Prabu sangat waspada, tahu sebelum kejadian mengenai raja-raja karena Sang Prabu menerima sasmita gaib.
Bila Islam seperti Nabi. Prabu Jayabaya bercengkrama di gunung sudah lama. Bertemu dengan Ki Ajar di gunung Padang. Yang bertapa brata sehingga apa yang dikehendaki terjadi.Tergopoh-g opoh menghormati. Setelah duduk Ki Ajar memanggil seorang endang yang membawa sesaji. Berwarna-warni isinya. Tujuh warna-warni dan lengkap delapan dengan endangnya. Jadah (ketan) setakir, bawang putih satu talam, kembang melati satu bungkus, darah sepitrah, kunir sarimpang, sebatang pohon kajar dan kembang mojar satu bungkus. Kedelapan endang seorang.
Kemudian Ki Ajar menghaturkan sembah : “Inilah hidangan kami untuk sang Prabu”. Sang Prabu waspada kemudian menarik senjata kerisnya. Ki Ajar ditikam mati. Demikian juga endangnya. Keris kemudian dimasukkan lagi. Cantrik-cantrik berlarian karena takut. Sedangkan raja putra kecewa melihat perbuatan ayahnya. Sang putra akan bertanya merasa takut. Kemudian merekapun pulang. Datang di kedaton Sang Prabu berbicara dengan putranya. Heh anakku. Kamu tahu ulah si Ajar yang saya bunuh. Sebab berdosa kepada guru saya Sultan Maolana Ngali Samsujen tatkala masih muda. Dia itu sudah diwejang (diberitahu) oleh guru mengenai kitab Musarar. Sama seperti saya. Namun dia menyalahi janji, musnah raja-raja di P. Jawa. Toh saya sudah diberitahu bahwa saya tinggal 3 kali lagi.
Bila sudah menitis tiga kali kemudian ada jaman lagi bukan perbuatan saya. Sudah dikatakan oleh Maolana Ngali tidak mungkin berobah lagi. Diberi lambang Jaman Catur semune segara asat. Itulah Jenggala, Kediri, Singasari dan Ngurawan. Empat raja itu masih kekuasaan saya. Negaranya bahagia diatas bumi. Menghancurkan keburukan. Setelah 100 tahun musnah keempat kerajaan tersebut. Kemudian ada jaman lagi yang bukan milik saya, sebab saya sudah terpisah dengan saudara-saudara ditempat yang rahasia.
Di dalam teken sang guru Maolana Ngali. Demikian harap diketahui oleh anak cucu bahwa akan ada jaman Anderpati yang bernama Kala-wisesa. Lambangnya: Sumilir naga kentir semune liman pepeka. Itu negara Pajajaran. Negara tersebut tanpa keadilan dan tata negara, Setelah seratus tahun kemudian musnah. Sebab berperang dengan saudara. Hasil bumi diberi pajak emas. Sebab saya mendapat hidangan Kunir sarimpang dari ki Ajar. Kemudian berganti jaman di Majapahit dengan rajanya Prabu Brawijaya.
Demikian nama raja bergelar Sang Rajapati Dewanata. Alamnya disebut Anderpati, lamanya sepuluh windu (80 tahun). Hasil negara berupa picis (uang). Ternyata waktu itu dari hidangan ki Ajar. Hidangannya Jadah satu takir. Lambangnya waktu itu Sima galak semune curiga ketul. Kemudian berganti jaman lagi. Di Gelagahwangi dengan ibukota di Demak. Ada agama dengan pemimpinnya bergelar Diyati Kalawisaya. Enam puluh lima tahun kemudian musnah. Yang bertahta Ratu Adil serta wali dan pandita semuanya cinta. Pajak rakyat berupa uang. Temyata saya diberi hidangan bunga Melati oleh ki Ajar.
Negara tersebut diberi lambang: Kekesahan durung kongsi kaselak kampuhe bedah. Kemudian berganti jaman Kalajangga. Beribukota Pajang dengan hukum seperti di Demak. Tidak diganti oleh anaknya. 36 tahun kemudian musnah. Negara ini diberi lambang: cangkrama putung watange. Orang di desa terkena pajak pakaian dan uang. Sebab ki Ajar dahulu memberi hidangan sebatang pohon kajar. Kemudian berganti jaman di Mataram. Kalasakti Prabu Anyakrakusuma. Dicintai pasukannya. Kuat angkatan perangnya dan kaya, disegani seluruh bangsa Jawa. Bahkan juga sebagai gantinya Ajar dan wali serta pandita, bersatu dalam diri Sang Prabu yang adil.
Raja perkasa tetapi berbudi halus. Rakyat kena pajak reyal. Sebab waktu itu saya mendapat hidangan bawang putih dari ki Ajar. Rajanya diberi gelar: Sura Kalpa semune lintang sinipat. Kemudian berganti lagi dengan lambang: Kembang sempol Semune modin tanpa sreban. Raja yang keempat yang penghabisan diberi lambang Kalpa sru kanaka putung. Seratus tahun kemudian musnah sebab melawan sekutu. Kemudian ada nakhoda yang datang berdagang.
Berdagang di tanah Jawa kemudian mendapat sejengkal tanah. Lama kelamaan ikut perang dan selalu menang, sehingga terpandang di pulau Jawa. Jaman sudah berganti meskipun masih keturunan Mataram. Negara bernama Nyakkrawati dan ibukota di Pajang. Raja berpasukan campur aduk. Disegani setanah Jawa. Yang memulai menjadi raja dengan gelar Layon keli semune satriya brangti. Kemudian berganti raja yang bergelar: semune kenya musoni. Tidak lama kemudian berganti.
Nama rajanya Lung Gadung Rara Nglikasi(Raja yang penuh inisiatif dalam segala hal, namun memiliki kelemahan suka wanita) kemudian berganti Gajah Meta Semune Tengu Lelaki (Raja yang disegani/ditakuti, namun nista.) Enam puluh tahun menerima kutukan sehingga tenggelam negaranya dan hukum tidak karu-karuan. Waktu itu pajaknya rakyat adalah Uang anggris dan uwang. Sebab saya diberi hidangan darah sepitrah. Kemudian negara geger. Tanah tidak berkasiat, pemerintah rusak. Rakyat celaka. Bermacam-macam bencana yang tidak dapat ditolak.
Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat. Bupati berdiri sendiri-sendiri. Kemudian berganti jaman Kutila. Rajanya Kara Murka(Raja-raja yang saling balas dendam.). Lambangnya Panji Loro Semune Pajang Mataram(Dua kekuatan pimpinan yang saling jegal ingin menjatuhkan). Nakhoda (Orang asing)ikut serta memerintah. Punya keberanian dan kaya. Sarjana (Orang arif dan bijak) tidak ada. Rakyat sengsara. Rumah hancur berantakan diterjang jalan besar. Kemudian diganti dengan lambang Rara ngangsu , randa loro nututi pijer tetukar(( Ratu yang selalu diikuti/diintai dua saudara wanita tua untuk menggantikannya).
Tidak berkesempatan menghias diri(Raja yang tidak sempat mengatur negara sebab adanya masalah-masalah yang merepotkan ), sinjang kemben tan tinolih itu sebuah lambang yang menurut Seh Ngali Samsujen datangnya Kala Bendu. Di Semarang Tembayat itulah yang mengerti/memahami lambang tersebut. Pajak rakyat banyak sekali macamnya. Semakin naik. Panen tidak membuat kenyang. Hasilnya berkurang. orang jahat makin menjadi-jadi Orang besar hatinya jail. Makin hari makin bertambah kesengsaraan negara.
Hukum dan pengadilan negara tidak berguna. Perintah berganti-ganti. Keadilan tidak ada. Yang benar dianggap salah. Yang jahat dianggap benar. Setan menyamar sebagai wahyu. Banyak orang melupakan Tuhan dan orang tua. Wanita hilang kehormatannya. Sebab saya diberi hidangan Endang seorang oleh ki Ajar. Mulai perang tidak berakhir. Kemudian ada tanda negara pecah. Banyak hal-hal yang luar biasa. Hujan salah waktu. Banyak gempa dan gerhana. Nyawa tidak berharga. Tanah Jawa berantakan. Kemudian raja Kara Murka Kutila musnah.
Kemudian kelak akan datang Tunjung putih semune Pudak kasungsang(Raja berhati putih namun masih tersembunyi). Lahir di bumi Mekah(Orang Islam yang sangat bertauhid). Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan. Raja keturunan waliyullah. Berkedaton dua di Mekah dan Tanah Jawa(Orang Islam yang sangat menghormati leluhurnya dan menyatu dengan ajaran tradisi Jawa (kawruh Jawa)). Letaknya dekat dengan gunung Perahu, sebelah barat tempuran. Dicintai pasukannya. Memang raja yang terkenal sedunia.
Waktu itulah ada keadilan. Rakyat pajaknya dinar sebab saya diberi hidangan bunga seruni oleh ki Ajar. Waktu itu pemerintahan raja baik sekali. Orangnya tampan senyumnya manis sekali.
RAMALAN JOYOBOYO
- Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran — Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda.
- Tanah Jawa kalungan wesi — Pulau Jawa berkalung besi.
- Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang — Perahu berjalan di angkasa.
- Kali ilang kedhunge — Sungai kehilangan mata air.
- Pasar ilang kumandhang — Pasar kehilangan suara.
- Iku tandha yen tekane zaman Jayabaya wis cedhak — Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat.
- Bumi saya suwe saya mengkeret — Bumi semakin lama semakin mengerut.
- Sekilan bumi dipajeki — Sejengkal tanah dikenai pajak.
- Jaran doyan mangan sambel — Kuda suka makan sambal.
- Wong wadon nganggo pakeyan lanang — Orang perempuan berpakaian lelaki.
- Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking zaman— Itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak-balik
- Akeh janji ora ditetepi — Banyak janji tidak ditepati.
- keh wong wani nglanggar sumpahe dhewe— Banyak orang berani melanggar sumpah sendiri.
- Manungsa padha seneng nyalah— Orang-orang saling lempar kesalahan.
- Ora ngendahake hukum Hyang Widhi— Tak peduli akan hukum Hyang Widhi.
- Barang jahat diangkat-angkat— Yang jahat dijunjung-junjung.
- Barang suci dibenci— Yang suci (justru) dibenci.
- Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit— Banyak orang hanya mementingkan uang.
- Lali kamanungsan— Lupa jati kemanusiaan.
- Lali kabecikan— Lupa hikmah kebaikan.
- Lali sanak lali kadang— Lupa sanak lupa saudara.
- Akeh bapa lali anak— Banyak ayah lupa anak.
- Akeh anak wani nglawan ibu— Banyak anak berani melawan ibu.
- Nantang bapa— Menantang ayah.
- Sedulur padha cidra— Saudara dan saudara saling khianat.
- Kulawarga padha curiga— Keluarga saling curiga.
- Kanca dadi mungsuh — Kawan menjadi lawan.
- Akeh manungsa lali asale — Banyak orang lupa asal-usul.
- Ukuman Ratu ora adil — Hukuman Raja tidak adil
- Akeh pangkat sing jahat lan ganjil— Banyak pejabat jahat dan ganjil
- Akeh kelakuan sing ganjil — Banyak ulah-tabiat ganjil
- Wong apik-apik padha kapencil — Orang yang baik justru tersisih.
- Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin — Banyak orang kerja halal justru merasa malu.
- Luwih utama ngapusi — Lebih mengutamakan menipu.
- Wegah nyambut gawe — Malas untuk bekerja.
- Kepingin urip mewah — Inginnya hidup mewah.
- Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka — Melepas nafsu angkara murka, memupuk durhaka.
- Wong bener thenger-thenger — Orang (yang) benar termangu-mangu.
- Wong salah bungah — Orang (yang) salah gembira ria.
- Wong apik ditampik-tampik— Orang (yang) baik ditolak ditampik (diping-pong).
- Wong jahat munggah pangkat— Orang (yang) jahat naik pangkat.
- Wong agung kasinggung— Orang (yang) mulia dilecehkan
- Wong ala kapuja— Orang (yang) jahat dipuji-puji.
- Wong wadon ilang kawirangane— perempuan hilang malu.
- Wong lanang ilang kaprawirane— Laki-laki hilang jiwa kepemimpinan.
- Akeh wong lanang ora duwe bojo— Banyak laki-laki tak mau beristri.
- Akeh wong wadon ora setya marang bojone— Banyak perempuan ingkar pada suami.
- Akeh ibu padha ngedol anake— Banyak ibu menjual anak.
- Akeh wong wadon ngedol awake— Banyak perempuan menjual diri.
- Akeh wong ijol bebojo— Banyak orang gonta-ganti pasangan.
- Wong wadon nunggang jaran— Perempuan menunggang kuda.
- Wong lanang linggih plangki— Laki-laki naik tandu.
- Randha seuang loro— Dua janda harga seuang (Red.: seuang = 8,5 sen).
- Prawan seaga lima— Lima perawan lima picis.
- Dhudha pincang laku sembilan uang— Duda pincang laku sembilan uang.
- Akeh wong ngedol ngelmu— Banyak orang berdagang ilmu.
- Akeh wong ngaku-aku— Banyak orang mengaku diri.
- Njabane putih njerone dhadhu— Di luar putih di dalam jingga.
- Ngakune suci, nanging sucine palsu— Mengaku suci, tapi palsu belaka.
- Akeh bujuk akeh lojo— Banyak tipu banyak muslihat.
- Akeh udan salah mangsa— Banyak hujan salah musim.
- Akeh prawan tuwa— Banyak perawan tua.
- Akeh randha nglairake anak— Banyak janda melahirkan bayi.
- Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne— Banyak anak lahir mencari bapaknya.
- Agama akeh sing nantang— Agama banyak ditentang.
- Prikamanungsan saya ilang— Perikemanusiaan semakin hilang.
- Omah suci dibenci— Rumah suci dijauhi.
- Omah ala saya dipuja— Rumah maksiat makin dipuja.
- Wong wadon lacur ing ngendi-endi— Perempuan lacur dimana-mana.
- Akeh laknat— Banyak kutukan
- Akeh pengkianat— Banyak pengkhianat.
- Anak mangan bapak—Anak makan bapak.
- Sedulur mangan sedulur—Saudara makan saudara.
- Kanca dadi mungsuh—Kawan menjadi lawan.
- Guru disatru—Guru dimusuhi.
- Tangga padha curiga—Tetangga saling curiga.
- Kana-kene saya angkara murka — Angkara murka semakin menjadi-jadi.
- Sing weruh kebubuhan—Barangsiapa tahu terkena beban.
- Sing ora weruh ketutuh—Sedang yang tak tahu disalahkan.
- Besuk yen ana peperangan—Kelak jika terjadi perang.
- Teka saka wetan, kulon, kidul lan lor—Datang dari timur, barat, selatan, dan utara.
- Akeh wong becik saya sengsara— Banyak orang baik makin sengsara.
- Wong jahat saya seneng— Sedang yang jahat makin bahagia.
- Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul— Ketika itu burung gagak dibilang bangau.
- Wong salah dianggep bener—Orang salah dipandang benar.
- Pengkhianat nikmat—Pengkhianat nikmat.
- Durjana saya sempurna— Durjana semakin sempurna.
- Wong jahat munggah pangkat— Orang jahat naik pangkat.
- Wong lugu kebelenggu— Orang yang lugu dibelenggu.
- Wong mulya dikunjara— Orang yang mulia dipenjara.
- Sing curang garang— Yang curang berkuasa.
- Sing jujur kojur— Yang jujur sengsara.
- Pedagang akeh sing keplarang— Pedagang banyak yang tenggelam.
- Wong main akeh sing ndadi—Penjudi banyak merajalela.
- Akeh barang haram—Banyak barang haram.
- Akeh anak haram—Banyak anak haram.
- Wong wadon nglamar wong lanang—Perempuan melamar laki-laki.
- Wong lanang ngasorake drajate dhewe—Laki-laki memperhina derajat sendiri.
- Akeh barang-barang mlebu luang—Banyak barang terbuang-buang.
- Akeh wong kaliren lan wuda—Banyak orang lapar dan telanjang.
- Wong tuku ngglenik sing dodol—Pembeli membujuk penjual.
- Sing dodol akal okol—Si penjual bermain siasat.
- Wong golek pangan kaya gabah diinteri—Mencari rizki ibarat gabah ditampi.
- Sing kebat kliwat—Yang tangkas lepas.
- Sing telah sambat—Yang terlanjur menggerutu.
- Sing gedhe kesasar—Yang besar tersasar.
- Sing cilik kepleset—Yang kecil terpeleset.
- Sing anggak ketunggak—Yang congkak terbentur.
- Sing wedi mati—Yang takut mati.
- Sing nekat mbrekat—Yang nekat mendapat berkat.
- Sing jerih ketindhih—Yang hati kecil tertindih
- Sing ngawur makmur—Yang ngawur makmur
- Sing ngati-ati ngrintih—Yang berhati-hati merintih.
- Sing ngedan keduman—Yang main gila menerima bagian.
- Sing waras nggagas—Yang sehat pikiran berpikir.
- Wong tani ditaleni—Orang (yang) bertani diikat.
- Wong dora ura-ura—Orang (yang) bohong berdendang.
- Ratu ora netepi janji, musna panguwasane—Raja ingkar janji, hilang wibawanya.
- Bupati dadi rakyat—Pegawai tinggi menjadi rakyat.
- Wong cilik dadi priyayi—Rakyat kecil jadi priyayi.
- Sing mendele dadi gedhe—Yang curang jadi besar.
- Sing jujur kojur—Yang jujur celaka.
- Akeh omah ing ndhuwur jaran—Banyak rumah di punggung kuda.
- Wong mangan wong—Orang makan sesamanya.
- Anak lali bapak—Anak lupa bapa.
- Wong tuwa lali tuwane—Orang tua lupa ketuaan mereka.
- Pedagang adol barang saya laris—Jualan pedagang semakin laris.
- Bandhane saya ludhes—Namun harta mereka makin habis.
- Akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan—Banyak orang mati lapar di samping makanan.
- Akeh wong nyekel bandha nanging uripe sangsara—Banyak orang berharta tapi hidup sengsara.
- Sing edan bisa dandan—Yang gila bisa bersolek.
- Sing bengkong bisa nggalang gedhong—Si bengkok membangun mahligai.
- Wong waras lan adil uripe nggrantes lan kepencil—Yang waras dan adil hidup merana dan tersisih.
- Ana peperangan ing njero—Terjadi perang di dalam.
- Timbul amarga para pangkat akeh sing padha salah paham—Terjadi karena para pembesar banyak salah faham.
- Durjana saya ngambra-ambra—Kejahatan makin merajalela.
- Penjahat saya tambah—Penjahat makin banyak.
- Wong apik saya sengsara—Yang baik makin sengsara.
- Akeh wong mati jalaran saka peperangan—Banyak orang mati karena perang.
- Kebingungan lan kobongan—Karena bingung dan kebakaran.
- Wong bener saya thenger-thenger—Si benar makin tertegun.
- Wong salah saya bungah-bungah—Si salah makin sorak sorai.
- Akeh bandha musna ora karuan lungane—Banyak harta hilang entah ke mana
- Akeh pangkat lan drajat pada minggat ora karuan sababe—Banyak pangkat dan derajat lenyap entah mengapa.
- Akeh barang-barang haram, akeh bocah haram—Banyak barang haram, banyak anak haram.
- Bejane sing lali, bejane sing eling—Beruntunglah si lupa, beruntunglah si sadar.
- Nanging sauntung-untunge sing lali—Tapi betapapun beruntung si lupa.
- Isih untung sing waspada—Masih lebih beruntung si waspada.
- Angkara murka saya ndadi—Angkara murka semakin menjadi.
- Kana-kene saya bingung—Di sana-sini makin bingung.
- Pedagang akeh alangane—Pedagang banyak rintangan.
- Akeh buruh nantang juragan—Banyak buruh melawan majikan.
- Juragan dadi umpan—Majikan menjadi umpan.
- Sing suwarane seru oleh pengaruh—Yang bersuara tinggi mendapat pengaruh.
- Wong pinter diingar-ingar—Si pandai direcoki.
- Wong ala diuja—Si jahat dimanjakan.
- Wong ngerti mangan ati—Orang yang mengerti makan hati.
- Bandha dadi memala—Harta benda menjadi penyakit
- Pangkat dadi pemikat—Pangkat menjadi pemukau.
- Sing sawenang-wenang rumangsa menang — Yang sewenang-wenang merasa menang
- Sing ngalah rumangsa kabeh salah—Yang mengalah merasa serba salah.
- Ana Bupati saka wong sing asor imane—Ada raja berasal orang beriman rendah.
- Patihe kepala judhi—Maha menterinya benggol judi.
- Wong sing atine suci dibenci—Yang berhati suci dibenci.
- Wong sing jahat lan pinter jilat saya derajat—Yang jahat dan pandai menjilat makin kuasa.
- Pemerasan saya ndadra—Pemerasan merajalela.
- Maling lungguh wetenge mblenduk — Pencuri duduk berperut gendut.
- Pitik angrem saduwure pikulan—Ayam mengeram di atas pikulan.
- Maling wani nantang sing duwe omah—Pencuri menantang si empunya rumah.
- Begal pada ndhugal—Penyamun semakin kurang ajar.
- Rampok padha keplok-keplok—Perampok semua bersorak-sorai.
- Wong momong mitenah sing diemong—Si pengasuh memfitnah yang diasuh
- Wong jaga nyolong sing dijaga—Si penjaga mencuri yang dijaga.
- Wong njamin njaluk dijamin—Si penjamin minta dijamin.
- Akeh wong mendem donga—Banyak orang mabuk doa.
- Kana-kene rebutan unggul—Di mana-mana berebut menang.
- Angkara murka ngombro-ombro—Angkara murka menjadi-jadi.
- Agama ditantang—Agama ditantang.
- Akeh wong angkara murka—Banyak orang angkara murka.
- Nggedhekake duraka—Membesar-besarkan durhaka.
- Ukum agama dilanggar—Hukum agama dilanggar.
- Prikamanungsan di-iles-iles—Perikemanusiaan diinjak-injak.
- Kasusilan ditinggal—Tata susila diabaikan.
- Akeh wong edan, jahat lan kelangan akal budi—Banyak orang gila, jahat dan hilang akal budi.
- Wong cilik akeh sing kepencil—Rakyat kecil banyak tersingkir.
- Amarga dadi korbane si jahat sing jajil—Karena menjadi kurban si jahat si laknat.
- Banjur ana Ratu duwe pengaruh lan duwe prajurit—Lalu datang Raja berpengaruh dan berprajurit.
- Lan duwe prajurit—Dan punya prajurit.
- Negarane ambane saprawolon—Lebar negeri seperdelapan dunia.
- Tukang mangan suap saya ndadra—Pemakan suap semakin merajalela.
- Wong jahat ditampa—Orang jahat diterima.
- Wong suci dibenci—Orang suci dibenci.
- Timah dianggep perak—Timah dianggap perak.
- Emas diarani tembaga—Emas dibilang tembaga
- Dandang dikandakake kuntul—Gagak disebut bangau.
- Wong dosa sentosa—Orang berdosa sentosa.
- Wong cilik disalahake—Rakyat jelata dipersalahkan.
- Wong nganggur kesungkur—Si penganggur tersungkur.
- Wong sregep krungkep—Si tekun terjerembab.
- Wong nyengit kesengit—Orang busuk hati dibenci.
- Buruh mangluh—Buruh menangis.
- Wong sugih krasa wedi—Orang kaya ketakutan.
- Wong wedi dadi priyayi—Orang takut jadi priyayi.
- Senenge wong jahat—Berbahagialah si jahat.
- Susahe wong cilik—Bersusahlah rakyat kecil.
- Akeh wong dakwa dinakwa—Banyak orang saling tuduh.
- Tindake manungsa saya kuciwa—Ulah manusia semakin tercela.
- Ratu karo Ratu pada rembugan negara endi sing dipilih lan disenengi—Para raja berunding negeri mana yang dipilih dan disukai.
- Wong Jawa kari separo—Orang Jawa tinggal setengah.
- Landa-Cina kari sejodho — Belanda-Cina tinggal sepasang.
- Akeh wong ijir, akeh wong cethil—Banyak orang kikir, banyak orang bakhil.
- Sing eman ora keduman—Si hemat tidak mendapat bagian.
- Sing keduman ora eman—Yang mendapat bagian tidak berhemat.
- Akeh wong mbambung—Banyak orang berulah dungu.
- Akeh wong limbung—Banyak orang limbung.
- Selot-selote mbesuk wolak-waliking zaman teka—Lambat-laun datanglah kelak terbaliknya zaman
PETILASAN JOYOBOYO
Petilasan Sri Aji Joyoboyo terletak di desa Menang, Pagu, kabupaten Kediri, Jawa Timur, sekitar ± 8 km ke arah timur dari kota Kediri. Jadilah tempat dimana Sri Aji Joyoboyo loka mukso. Loka mukso artinya hilang bersama dengan jasadnya.
Saat ini setiap 1 Suro diadakan upacara adat yang dilakukan oleh Yayasan Hontodento – Yogyakarta bersama dengan pemerintah kabupaten Kediri, dan menjadi obyek wisata yang selalu penuh pengunjungnya. Di obyek wisata ini pengunjung dapat menyaksikan bangunan peninggalan kerajaan Kediri, seperti tempat mukso, bangunan balai – balai dan kuluk dengan tinggi 4 meter.
Upacara adat itu berupa kirab atau iring-iringan dari kraton Yogyakarta. Kirab Tombak Kiai Bimo menjadi salah satu ritual di dalamnya. Sekitar 500 orang yang menghadirinya berebut kembang sisa ritual, dengan harapan menjadi berkah dalam kehidupannya.
Tombak Kiai Bimo sendiri merupakan salah satu peninggalam Prabu Sri Aji Joyoboyo yang penemuannya terjadi hampir bersamaan dengan ditemukannya petilasan tempat Prabu Joyoboyo muksa. Pusaka ini berwujud kayu melengkung yang terbuat dari batang pohon sambi, yang konon berdiri di sekitar petilasan. Selama ini Tombak Kiai Bimo disimpan di Kantor Yayasan Hontodento yang didirikan sekelompok orang pengikut setia sang prabu, dan berkedudukan di Yogyakarta.
Kirab Tombak Kiai Bimo sendiri diawali dari Balai Desa Pamenang ke lokasi pamuksan yang berjarak sekitar 300 meter. Sesampainya di lokasi, kegiatan dilanjutkan dengan tabur kembang setaman oleh 16 bocah perempuan yang belum baligh, sehingga diyakini masih suci. Setelah tabur bunga oleh 16 bocah, acara puncak diawali dengan pemanjatan niat oleh pimpinan ritual, caos dahar berupa tabur bunga oleh pengurus Yayasan Hontodento, dan diakhiri dengan penyemayaman Tombak Kiai Bimo di lokasi pamuksan, sebelum akhirnya dibawa kembali ke Balai Desa Pamenang dan disimpan ulang di Yogyakarta.
Seiring berakhirnya ritual, ratusan orang yang hadir di dalamnya diizinkan berebut kembang setaman dan melati yang disebar di lokasi pamuksan dan halaman di sekitarnya. Muncul kepercayaan, kembang tersebut akan menghadirkan ketenangan dalam menjalani hidup, serta memudahkan untuk terkabulkannya sebuah permintaan. Menurut cerita, Tirta Kamandanu ini adalah tempat mandinya atau bersucinya Sri Aji Jayabaya sebelum beliau muksa.
Beberapa tahun yang lalu, sumber air di Tirta Kamandanu ini masih mengeluarkan air, tapi entah mengapa sekarang sumber air itu ditutup dengan batu, kolamnya kering.(wikipedia)
0 Response to "RAJA JAYABAYA"
Posting Komentar