( TH 989-1011 ) M
Beliau termasyur akan kewibawaan dan kebesarannya sebagai penguasa tunggal, dipuji dan dihormati oleh para pendeta dan para raja, sampai ke Pulau Jawa. Maka dari itu Baginda mempersunting putri raja dari Pulau Jawa yang sangat utama, putri Sri Makuta Wangsa Wardhani raja wanita yang bersuamikan Sri Makuta Wangsa Wardhana, Baginda berputra dua orang yang berparas cantik.
Yang tinggal di Jawa kawin dengan raja Kediri, yang bergelar Sri Dharmawangsa Teguh Ananta Wikrama Tunggadewa. Dan yang menikah ke Bali bergelar Ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni, Baginda yang menjadi jungjungan rakyat Bali.
Raja di Bali
Pada masa pemerintahan Udayana, hubungan Kerajaan Bali dan Mataram Kuno berjalan sangat baik. Hal ini disebabkan oleh adanya pernikahan antara Udayana dengan Gunapriya Dharmapatni, cicit Mpu Sendok yang kemudian dikenal sebagai Mahendradata. Pada masa itu banyak dihasilkan prasasti-prasasti yang menggunakan huruf Nagari dan Kawi serta bahasa Bali Kuno dan Sangsekerta.
Dikisahkan Baginda Maha Raja Sri Dharma Udhayana Warmadewa memerintah Pulau Bali bersama permaisuri, makin bertambah kewibawaan Baginda, oleh karena Ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni bijaksana masyur di Nusantara. Dalam menjalankan roda pemerintahan beliau mendatangkan 4 orang rohaniawan dari Jawa Timur diantaranya :
Adapula yang merupakan perisai pengawal Baginda yang sudah dipercaya bernama Senapati Wrasaba, Senapati Pancakala, Senapati Waranasi, Senapati Tira, Senapati Danda, Senapati Wit, Senapati Byut, Senapati Kalabaksa, Senapati Kuturan, Senapati Maniringin, Senapati Sarbwa.
Pura Samuan Tiga
Sebelas orang Senapati Baginda yang besama-sama mengatur dan mengayomi Pulau Bali, ke sebelas Senapati itu diberikan imbalan sawah bukti. Adapun Senapati Kuturan, sawah bukti yang dihasilinya bertempat di perbatasan daerah Batuan. Pulau Bali aman dan sejahtera tidak ada perselisihan semua umat menekuni nyanyian keagamaan, demikian pula para Pendeta Siwa, Budha, Rsi dan para Ahli (Mpu), selalu melaksanakan Api Kurban (homa), mengucapkan Weda mantra, suara genta mengalun memuja kebesaran Sang Hyang Widhi serta para dewata.
Demikian pula bunyi-bunyian dibunyikan siang malam di tiap-tiap desa, dalam rangka upacara Dewa Yadnya pada masing-masing pura tak henti-hentinya. Dilengkapi dengan kidung dan membaca Lontar Kekawin.
Terjadi banyak perubahan dalam berbagai bidang diantaranya penulisan prasasti tidak lagi mempergunakan bahasa Bali Kuno seperti yang sudah sudah tetapi memakai bahasa Jawa Kuno atau Bahasa Kawi. Di bidang keagamaan yang semula terdiri dari 9 sekte yang sering menimbulkan pertentang di masyarakat ditata kembali melalui pertemuan dengan kelompok Budha Mahayana, Siwa dan Bali Aga dengan sekte sektenya.
Persembahyangan di Pura Samuan Tiga
Hal ini diprakarsai oleh Mpu Kuturan yang menjabat sebagai Ketua Majelis Lembaga Tertinggi dalam pemerintahan Raja Udayana. Hasil pertemuan ini disetujui oleh semua pihak dan menghasilkan 5 kesepakatan antara lain :
Itulah sebabnya maka tempat dilaksanakan pertemuan tersebut dinamakan Samuan Tiga, sedangkan Pura yang dibangun ditempat itu dinamakan Pura Samuan Tiga yang terletak di desa Bedahulu Gianyar.
Pura Samuan Tiga
BERBAGAI VERSI TENTANG UDAYANA
Menurut F.D.K. Bosch,, Udayana adalah anak seorang putri Campa atau Kamboja. Kekacauan yang terjadi di negeri itu, sekitar tahun 970, menyebabkan sang putri yang dalam keadaan hamil itu melarikan diri ke Jawa dan melahirkan putranya di sana. Putranya itu adalah Udayana yang kemudian menikah dengan Mahendradatta
Moens tidak setuju dengan hipotesis Bosch itu. Dalam artikelnya ”De Stamboom van Erlangga”yang terbit pada tahun 1950, Moens antara lain mengemukakan bahwa ada dua tokoh historis Udayana. Pertama, Udayana yang lahir sebagai akibat hubungan inses antara Isana (Sindok) dengan putri kandungnya (selanjutnya disebut Udayana I). Kedua, Udayana yanng merupakan putra Udayana I sebagai hasil pernikahannya dengan Ratnawati (selanjutnya disebut Udayana II). Udayana I tetap hidup di Jawa Timur dan setelah mangkat, pada tahu 899 Saka dicandikan di Jalatunda. Udayana II dinikahkan dengan Mahendradatta. Pasangan ini kemudian dinobatkan sebagai pemegang tampuk pemerintahan di Bali.
Moens juga mengemukakan bahwa Mahendradatta sesungguhnya menikah dua kali, pertama kali dengan Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur, melahirkan Airlangga, dan kedua kalinya dengan Udayana II . Pada dasarnya, Goris menyetujui pendapat Moens tentang adanya dua tokoh Udayana, tetapi beliau menambahkan bahwa Airlangga dilahirkan di Bali pada tahun 913 Saka (991) sebagai hasil, pernikahan Mahendradatta dengan Udayana yang memerintah di Bali .
Peninggalan Bali Kuno
Pendapat Bosch dan Moens di atas perlu ditinjau kembali. Tadi telah disinggung bahwa dalam prasasti Pucangan, Mahendradatta dikatakan menikah dengan Udayana, seorang pangeran dari dinasti termasyhur. Tidak perlu disangsikan lagi bahwa yang dimaksud dengan Udayana itu adalah Sri Dharmodayana Warmadewa.
agi pula, seperti telah diketahui, dinasti Warmadewa memang telah berkuasa di Bali sejak jauh sebelum Sri Dharmodayana Warmadewa, yaitu sejak tahun 835 Saka (914) dengan Sri Kesari Warmadewa sebagai cikal bakalnya.
Berdasarkan kenyataan itu, mudah dipahami bahwa penulis prasasti tidak perlu menegaskan kedinastian serta daerah asal Udayana yang memang sudah sangat dikenal pada waktu itu. Sebaliknya, sangat sukar dipahami bahwa seorang asing yang merupakan putra seorang pelarian, dapat diterima dengan mudah dalam jajaran anggota suatu dinasti, dalam hal ini dinasti Warmadewa.
Lagi pula, penerimaan tanpa reaksi aktif dari anggota dinasti tersebut, khususnya dari putra mahkota yang mempunyai hak sah atas takhta dan mahkota kerajaan Bali adalah hal yang mustahil. Pertimbangan-pertimbangan di atas, begitu pula keterangan-keterangan dalam prasasti Pucangan dan sejumlah prasasti Bali yang dikemukakan sebelumnya, dapat berfungsi sebagai landasan kuat bagi pendapat yang menyatakan bahwa Udayana, suami Gunapriyadharmapatni, adalah seorang putra Bali dari dinasti Warmadewa.
Pendapat ini sesuai dengan pendapat Krom yang dikemukakan jauh sebelum muncul pendapat Bosch dan Moens. Telah dikatakan bahwa prasasti-prasasti pasangan ”suami-istri” itu terbit tahun 911-923 Saka (989-1001). Prasasti-prasasti itu adalah prasasti Bebetin AI (911 Saka), Serai AII (915 Saka), Buwahan A (916 Saka), Sading A (923 Saka) dan prasasti Tamblingan Pura Endek II.
Prasasti Bebetin A berkenaan dengan desa (banwa) Bharu. Dikatakan bahwa desa itu, yang telah disebutkan dalam prasasti Bebetin A (818 Saka), kembali mengalami perampokan sehingga kondisi sosial ekonominya menjadi sangat lemah. Pasangan suami-istri itu pun memberikan keringanan dalam sejumlah kewajiban kepada desa tersebut. Keringanan semacam itu diberikan juga kepada penduduk di daerah perburuan (anak mabwatthaji di buru).
Hal itu dapat diketahui dari prasasti Serai AII. Isi prasasti Buwahan A sangat menarik perhatian. Pada intinya, prasasti itu memuat izin pasangan Gunapryadharmapatni dan Udayana kepada desa Bwahan yang terletak di pesisir Danau Batur untuk lepas dari desa induknya, yakni Kdisan. Desa Bwahan, yang tampaknya semakin berkembang, diizinkan berpemerintahan sendiri (sutantra i kawakannya).
Segala kewajiban supaya dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dalam prasasti Sading A dibicarakan tentang desa Bantiran. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa banyak penduduk desa itu terpaksa meninggalkan rumah. Hal itu disebabkan oleh tamu-tamu yang datang ke desa itu berlaku tidak sopan dan menimbulkan kekacauan. Setelah keadaan aman, penduduk desa Bantiran disuruh kembali ke desanya.
Hak dan kewajibannya diatur dan mereka diizinkan membuka lahan untuk memperluas sawah ladangnya. Pada tahun 933 Saka terbit sebuah prasasti atas nama Udayana sendiri, tanpa permaisurinya, yakni prasasti Batur, Pura Abang A . Rupanya Gunapriyadharmapatjni mangkat tidak lama sebelum tahun 933 Saka. Prasasti ini diberikan kepada desa Air Hawang (sekarang desa Abang) yang terletak di pesisir Danau Batur.
Dalam prasasti itu disebutkan bahwa pada tahun 933 Saka wakil-wakil desa Air Hawang menghadap raja Udayana dengan perantaraan pejabat Rakryan Asba, yaitu Dyah Manjak. Mereka menyampaikan bahwa karena kelemahan kondisi desanya, penduduk tidak mampu memenuhi pembayaran pajak-pajak serta cukai-cukai tertentu dan tidak dapat ikut bergotong royong atau kerja bakti untuk raja. Lebih lanjut, mereka memohon pengurangan atau keringanan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut.
Untuk memeriksa keadaan sebenarnya di lapangan (baca : di desa Air Hawang), raja mengutus Dang Acarya Bajantika, Dang Acarya Nisita, Dang Acarya Bhacandra dan Senapati Kuturan, yaitu Dyak Kayop ke desa itu. Hasil temuannya kemudian didiskusikan, dibahas, atau dianalisis dalam sidang paripurna para pejabat tinggi kerajaan, bahkan tidak sekali dua kali, tetapi lebih dari itu.
Setelah segala sesuatunya dipertimbangkan, akhirnya raja menyetujui permohonan wakil-wakil penduduk desa itu. Bagian teks prasasti mengenai proses persidangan itu berbunyi :
Prasasti bertahun 929 Saka itulah yang terbit pada masa pemerintahan Gunapriyadharmapatni dan Udayana. Penduduk setempat menyebut prasasti itu Mpu Bradah, yakni sebutan untuk tokoh Mpu Baradah yang terkenal dalam cerita Calonarang. Sekarang timbul pertanyaan, mengapa prasasti itu disebut Mpu Bradah?
Mengenai hal ini, Goris berpendapat bahwa pada tahun 929 Saka Mpu Baradah mengunjungi Bali untuk pertama kali. Kunjungan itu mungkin dalam kaitan dengan (1) kelahiran Marakata, (2) kelahiran Anak Wungsu, atau kemangkatan Gunapriyadharmapatni. Goris cenderung berpendapat bahwa Gunapriyadharmapatni mangkat ketika melahirkan putra bungsunya yaitu Anak Wungsu sehingga kedatangan Mpu Baradah ke Bali pada tahun 929 Saka betul-betul mengenai urusan yang sangat penting .
AKHIR MASA PEMERINTAHAN
Setelah lama Sri Dharmma Udhayana Warmmadewa sebagai penguasa tunggal, akhirnya Baginda wafat, pada tahun Saka 940/1018 Masehi. Jenazah Baginda dikebumikan di Banyuweka. Adapun Gunapriyadharmapatni setelah wafat dicandikan di Burwan. Beliau meninggalkan tiga orang putra, diantaranya
Beliau termasyur akan kewibawaan dan kebesarannya sebagai penguasa tunggal, dipuji dan dihormati oleh para pendeta dan para raja, sampai ke Pulau Jawa. Maka dari itu Baginda mempersunting putri raja dari Pulau Jawa yang sangat utama, putri Sri Makuta Wangsa Wardhani raja wanita yang bersuamikan Sri Makuta Wangsa Wardhana, Baginda berputra dua orang yang berparas cantik.
Yang tinggal di Jawa kawin dengan raja Kediri, yang bergelar Sri Dharmawangsa Teguh Ananta Wikrama Tunggadewa. Dan yang menikah ke Bali bergelar Ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni, Baginda yang menjadi jungjungan rakyat Bali.
Raja di Bali
Pada masa pemerintahan Udayana, hubungan Kerajaan Bali dan Mataram Kuno berjalan sangat baik. Hal ini disebabkan oleh adanya pernikahan antara Udayana dengan Gunapriya Dharmapatni, cicit Mpu Sendok yang kemudian dikenal sebagai Mahendradata. Pada masa itu banyak dihasilkan prasasti-prasasti yang menggunakan huruf Nagari dan Kawi serta bahasa Bali Kuno dan Sangsekerta.
Dikisahkan Baginda Maha Raja Sri Dharma Udhayana Warmadewa memerintah Pulau Bali bersama permaisuri, makin bertambah kewibawaan Baginda, oleh karena Ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni bijaksana masyur di Nusantara. Dalam menjalankan roda pemerintahan beliau mendatangkan 4 orang rohaniawan dari Jawa Timur diantaranya :
- Mpu Semeru, merupakan penganut agama Siwa (tahun 999) M bertempat di Besakih selaku pemelihara Pura Hyang Putranjaya atau yang sekarang dikenal dengan nama Pura Ratu Pasek.
- Mpu Gana, merupakan penganut aliran Ganapatya (tahun 1000) M bertempat di Gelgel dimana sekarang dibangun Pura Dasar Buwana Gelgel.
- Mpu Kuturan, merupakan penganut Budha Mahayana, bertempat di Padangbai dimana sekarang berdiri Pura Silayukti.
- Mpu Gnijaya, merupakan penganut Brahmaisme (Tahun 1006) M bertempat di Gunung Lempuyang dimana sekarang dibangun Pura Lempuyang Madia.
Adapula yang merupakan perisai pengawal Baginda yang sudah dipercaya bernama Senapati Wrasaba, Senapati Pancakala, Senapati Waranasi, Senapati Tira, Senapati Danda, Senapati Wit, Senapati Byut, Senapati Kalabaksa, Senapati Kuturan, Senapati Maniringin, Senapati Sarbwa.
Pura Samuan Tiga
Sebelas orang Senapati Baginda yang besama-sama mengatur dan mengayomi Pulau Bali, ke sebelas Senapati itu diberikan imbalan sawah bukti. Adapun Senapati Kuturan, sawah bukti yang dihasilinya bertempat di perbatasan daerah Batuan. Pulau Bali aman dan sejahtera tidak ada perselisihan semua umat menekuni nyanyian keagamaan, demikian pula para Pendeta Siwa, Budha, Rsi dan para Ahli (Mpu), selalu melaksanakan Api Kurban (homa), mengucapkan Weda mantra, suara genta mengalun memuja kebesaran Sang Hyang Widhi serta para dewata.
Demikian pula bunyi-bunyian dibunyikan siang malam di tiap-tiap desa, dalam rangka upacara Dewa Yadnya pada masing-masing pura tak henti-hentinya. Dilengkapi dengan kidung dan membaca Lontar Kekawin.
Terjadi banyak perubahan dalam berbagai bidang diantaranya penulisan prasasti tidak lagi mempergunakan bahasa Bali Kuno seperti yang sudah sudah tetapi memakai bahasa Jawa Kuno atau Bahasa Kawi. Di bidang keagamaan yang semula terdiri dari 9 sekte yang sering menimbulkan pertentang di masyarakat ditata kembali melalui pertemuan dengan kelompok Budha Mahayana, Siwa dan Bali Aga dengan sekte sektenya.
Persembahyangan di Pura Samuan Tiga
Hal ini diprakarsai oleh Mpu Kuturan yang menjabat sebagai Ketua Majelis Lembaga Tertinggi dalam pemerintahan Raja Udayana. Hasil pertemuan ini disetujui oleh semua pihak dan menghasilkan 5 kesepakatan antara lain :
- Menjadikan paham Trimurti/ Tri Sakti/ Tri Tunggal sebagai dasar keagamaan bagi semua paham dan aliran
- Mendirikan Pura Kayangan Tiga untuk setiap desa adat atau Pakraman.
- Di setiap rumah dibangun bangunan suci rong tiga atau yang dikenal dengan sanggah kemulan.
- Semua tanah pekarangan yang terletak di sekitar Desa dan pura Kayangan Tiga menjadi milik desa/ Pura Kahyangan Tiga dan tidak boleh diperjual belikan.
- Nama agama yang disepakati adalah Agama Siwa-Buda.
Itulah sebabnya maka tempat dilaksanakan pertemuan tersebut dinamakan Samuan Tiga, sedangkan Pura yang dibangun ditempat itu dinamakan Pura Samuan Tiga yang terletak di desa Bedahulu Gianyar.
Pura Samuan Tiga
BERBAGAI VERSI TENTANG UDAYANA
Menurut F.D.K. Bosch,, Udayana adalah anak seorang putri Campa atau Kamboja. Kekacauan yang terjadi di negeri itu, sekitar tahun 970, menyebabkan sang putri yang dalam keadaan hamil itu melarikan diri ke Jawa dan melahirkan putranya di sana. Putranya itu adalah Udayana yang kemudian menikah dengan Mahendradatta
Moens tidak setuju dengan hipotesis Bosch itu. Dalam artikelnya ”De Stamboom van Erlangga”yang terbit pada tahun 1950, Moens antara lain mengemukakan bahwa ada dua tokoh historis Udayana. Pertama, Udayana yang lahir sebagai akibat hubungan inses antara Isana (Sindok) dengan putri kandungnya (selanjutnya disebut Udayana I). Kedua, Udayana yanng merupakan putra Udayana I sebagai hasil pernikahannya dengan Ratnawati (selanjutnya disebut Udayana II). Udayana I tetap hidup di Jawa Timur dan setelah mangkat, pada tahu 899 Saka dicandikan di Jalatunda. Udayana II dinikahkan dengan Mahendradatta. Pasangan ini kemudian dinobatkan sebagai pemegang tampuk pemerintahan di Bali.
Moens juga mengemukakan bahwa Mahendradatta sesungguhnya menikah dua kali, pertama kali dengan Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur, melahirkan Airlangga, dan kedua kalinya dengan Udayana II . Pada dasarnya, Goris menyetujui pendapat Moens tentang adanya dua tokoh Udayana, tetapi beliau menambahkan bahwa Airlangga dilahirkan di Bali pada tahun 913 Saka (991) sebagai hasil, pernikahan Mahendradatta dengan Udayana yang memerintah di Bali .
Peninggalan Bali Kuno
Pendapat Bosch dan Moens di atas perlu ditinjau kembali. Tadi telah disinggung bahwa dalam prasasti Pucangan, Mahendradatta dikatakan menikah dengan Udayana, seorang pangeran dari dinasti termasyhur. Tidak perlu disangsikan lagi bahwa yang dimaksud dengan Udayana itu adalah Sri Dharmodayana Warmadewa.
agi pula, seperti telah diketahui, dinasti Warmadewa memang telah berkuasa di Bali sejak jauh sebelum Sri Dharmodayana Warmadewa, yaitu sejak tahun 835 Saka (914) dengan Sri Kesari Warmadewa sebagai cikal bakalnya.
Berdasarkan kenyataan itu, mudah dipahami bahwa penulis prasasti tidak perlu menegaskan kedinastian serta daerah asal Udayana yang memang sudah sangat dikenal pada waktu itu. Sebaliknya, sangat sukar dipahami bahwa seorang asing yang merupakan putra seorang pelarian, dapat diterima dengan mudah dalam jajaran anggota suatu dinasti, dalam hal ini dinasti Warmadewa.
Lagi pula, penerimaan tanpa reaksi aktif dari anggota dinasti tersebut, khususnya dari putra mahkota yang mempunyai hak sah atas takhta dan mahkota kerajaan Bali adalah hal yang mustahil. Pertimbangan-pertimbangan di atas, begitu pula keterangan-keterangan dalam prasasti Pucangan dan sejumlah prasasti Bali yang dikemukakan sebelumnya, dapat berfungsi sebagai landasan kuat bagi pendapat yang menyatakan bahwa Udayana, suami Gunapriyadharmapatni, adalah seorang putra Bali dari dinasti Warmadewa.
Pendapat ini sesuai dengan pendapat Krom yang dikemukakan jauh sebelum muncul pendapat Bosch dan Moens. Telah dikatakan bahwa prasasti-prasasti pasangan ”suami-istri” itu terbit tahun 911-923 Saka (989-1001). Prasasti-prasasti itu adalah prasasti Bebetin AI (911 Saka), Serai AII (915 Saka), Buwahan A (916 Saka), Sading A (923 Saka) dan prasasti Tamblingan Pura Endek II.
Prasasti Bebetin A berkenaan dengan desa (banwa) Bharu. Dikatakan bahwa desa itu, yang telah disebutkan dalam prasasti Bebetin A (818 Saka), kembali mengalami perampokan sehingga kondisi sosial ekonominya menjadi sangat lemah. Pasangan suami-istri itu pun memberikan keringanan dalam sejumlah kewajiban kepada desa tersebut. Keringanan semacam itu diberikan juga kepada penduduk di daerah perburuan (anak mabwatthaji di buru).
Hal itu dapat diketahui dari prasasti Serai AII. Isi prasasti Buwahan A sangat menarik perhatian. Pada intinya, prasasti itu memuat izin pasangan Gunapryadharmapatni dan Udayana kepada desa Bwahan yang terletak di pesisir Danau Batur untuk lepas dari desa induknya, yakni Kdisan. Desa Bwahan, yang tampaknya semakin berkembang, diizinkan berpemerintahan sendiri (sutantra i kawakannya).
Segala kewajiban supaya dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dalam prasasti Sading A dibicarakan tentang desa Bantiran. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa banyak penduduk desa itu terpaksa meninggalkan rumah. Hal itu disebabkan oleh tamu-tamu yang datang ke desa itu berlaku tidak sopan dan menimbulkan kekacauan. Setelah keadaan aman, penduduk desa Bantiran disuruh kembali ke desanya.
Hak dan kewajibannya diatur dan mereka diizinkan membuka lahan untuk memperluas sawah ladangnya. Pada tahun 933 Saka terbit sebuah prasasti atas nama Udayana sendiri, tanpa permaisurinya, yakni prasasti Batur, Pura Abang A . Rupanya Gunapriyadharmapatjni mangkat tidak lama sebelum tahun 933 Saka. Prasasti ini diberikan kepada desa Air Hawang (sekarang desa Abang) yang terletak di pesisir Danau Batur.
Dalam prasasti itu disebutkan bahwa pada tahun 933 Saka wakil-wakil desa Air Hawang menghadap raja Udayana dengan perantaraan pejabat Rakryan Asba, yaitu Dyah Manjak. Mereka menyampaikan bahwa karena kelemahan kondisi desanya, penduduk tidak mampu memenuhi pembayaran pajak-pajak serta cukai-cukai tertentu dan tidak dapat ikut bergotong royong atau kerja bakti untuk raja. Lebih lanjut, mereka memohon pengurangan atau keringanan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut.
Untuk memeriksa keadaan sebenarnya di lapangan (baca : di desa Air Hawang), raja mengutus Dang Acarya Bajantika, Dang Acarya Nisita, Dang Acarya Bhacandra dan Senapati Kuturan, yaitu Dyak Kayop ke desa itu. Hasil temuannya kemudian didiskusikan, dibahas, atau dianalisis dalam sidang paripurna para pejabat tinggi kerajaan, bahkan tidak sekali dua kali, tetapi lebih dari itu.
Setelah segala sesuatunya dipertimbangkan, akhirnya raja menyetujui permohonan wakil-wakil penduduk desa itu. Bagian teks prasasti mengenai proses persidangan itu berbunyi :
- “...tuwulwi ta sira kabaih mapupul, malapkna kinabehan, tan pingsan pingrwa, winantah winalik blah, hana pwantuk ning malapkna, an kasinggihan sapanghyang nikang anak thani, ...”
- Artinya : “... kemudian beliau sekalian berkumpul, bersidanng bersama-sama, tidak sekali dua kali, diperdebatkan dan dibahas, maka tercapailah hasil persidangan, yakni dipenuhinya hal-hal yang menjadi permohonan penduduk desa itu, ...”
Prasasti bertahun 929 Saka itulah yang terbit pada masa pemerintahan Gunapriyadharmapatni dan Udayana. Penduduk setempat menyebut prasasti itu Mpu Bradah, yakni sebutan untuk tokoh Mpu Baradah yang terkenal dalam cerita Calonarang. Sekarang timbul pertanyaan, mengapa prasasti itu disebut Mpu Bradah?
Mengenai hal ini, Goris berpendapat bahwa pada tahun 929 Saka Mpu Baradah mengunjungi Bali untuk pertama kali. Kunjungan itu mungkin dalam kaitan dengan (1) kelahiran Marakata, (2) kelahiran Anak Wungsu, atau kemangkatan Gunapriyadharmapatni. Goris cenderung berpendapat bahwa Gunapriyadharmapatni mangkat ketika melahirkan putra bungsunya yaitu Anak Wungsu sehingga kedatangan Mpu Baradah ke Bali pada tahun 929 Saka betul-betul mengenai urusan yang sangat penting .
AKHIR MASA PEMERINTAHAN
Setelah lama Sri Dharmma Udhayana Warmmadewa sebagai penguasa tunggal, akhirnya Baginda wafat, pada tahun Saka 940/1018 Masehi. Jenazah Baginda dikebumikan di Banyuweka. Adapun Gunapriyadharmapatni setelah wafat dicandikan di Burwan. Beliau meninggalkan tiga orang putra, diantaranya
- Sri Aji Erlangga kawin ke Jawa Timur
- Sri Dharmawangsa Wardana Marakata Pangkaja Stana Utunggadewa, berkuasa di Bali antara tahun Saka 944/1022 Masehi
- Adik terkecil bernama Sri Aji Anak Wungsu. beliau juga menganugrahkan prasasti pada tahun Saka 911/999 Masehi
0 Response to "DHARMA UDAYANA WARMADEWA"
Posting Komentar