( Peninggalan Raja Brawijaya V )
Raja terakhir Majapahit




Candi Sukuh merupakan candi yang berlatar belakang agama Hindu. Berdasarkan prasasti yang ada di sekitar candi, Candi Sukuh didirikan antara tahun 1359 - 1378 Saka atau tahun 1437 - 1456 Masehi (sekitar abad XV). Meskipun berlatar belakang agama Hindu, bentuk bangunan candi cenderung kembali ke bentuk bangunan pada jaman pra sejarah yaitu struktur Punden Berundak.


Candi Sukuh terletak di Kabupaten Karanganyar, eks Karisidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena ditemukannya obyek pujaan lingga dan yoni. Candi ini digolongkan kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena banyaknya obyek-obyek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas.

Sejarah singkat penemuan

Situs candi Sukuh ditemukan kembali pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1615 oleh Johnson, Residen Surakarta. Johnson kala itu ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of Java. Kemudian setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun 1842, Van der Vlis, yang berwarganegara Belanda melakukan penelitian. Lalu pada tahun 1928, pemugaran dimulai.

Lokasi candi Sukuh terletak di lereng kaki Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih 1.186 meter di atas permukaan laut pada koordinat 07o37, 38’ 85’’ Lintang Selatan dan 111o07,. 52’65’’ Bujur Barat. Candi ini terletak di dukuh Berjo, desa Sukuh, kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, eks Karisidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta. Kurang lebih 4 kilometer mendaki gunung Lawu lagi, terdapat situs Candi Cetho.


Yang membuat Candi Sukuh menarik adalah bentuk candi, arca dan lukisan relief yang sungguh unik dan berbeda dengan candi lainnya. Candi ini dipenuhi arca dan relief yang menggambarkan perwujudan kelamin lelaki dan perempuan secara gamblang, telanjang dan naturalis. Hal inilah yang memicu timbulnya julukan "The Most Exotic Temple in The World" bagi Candi Sukuh. Tak jarang mereka melontarkan tuduhan sebagai candi porno yang mengajarkan pendidikan seks secara vulgar.



Relief Candi Sukuh


dibawah akan dibahas lebih lanjut mengenai bentuk ini. Kesan kesederhanaan ini menarik perhatian arkeolog termashyur Belanda WF Stutterheim pada tahun 1930. Beliau lalu mencoba menjelaskannya dengan memberikan tiga argumen:

  1. kemungkinan pemahat candi Sukuh bukan seorang tukang batu melainkan tukang kayu dari desa dan bukan dari kalangan keratin
  2. Candi dibuat dengan agak tergesa-gesa sehingga kurang rapi
  3. Keadaan politik kala itu dengan menjelang keruntuhannya Majapahit karena didesak oleh pasukan Islam Demak tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah.

Para pengunjung yang memasuki pintu utama lalu memasuki gapura terbesar akan melihat bentuk arsitektur khas bahwa ini tidak disusun tegak lurus namun agak miring, berbentuk trapesium dengan atap di atasnya. Batu-batuan di candi ini berwarna agak kemerahan, sebab batu-batu yang dipakai adalah jenis andesit.
Teras pertama candi

Pada teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada sebuah sangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi gapura buta abara wong. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gapura sang raksasa memangsa manusia”. Kata-kata ini memiliki makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 Saka atau tahun 1437 Masehi.

Gapura pada teras kedua sudah rusak. Di kanan dan kiri gapura yang biasanya terdapat patung penjaga pintu atau dwarapala, didapati pula, namun dalam keadaan rusak dan sudah tidak jelas bentuknya lagi. Gapura sudah tidak beratap dan pada teras ini tidak dijumpai banyak patung-patung. Namun pada gapura ini terdapat sebuah candrasangkala pula dalam bahasa Jawa yang berbunyi gajah wiku anahut buntut. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gajah pendeta menggigit ekor”. Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi. Jadi jika bilangan ini benar, maka ada selisih hampir duapuluh tahun dengan gapura di teras pertama!

Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Jika para pengunjung ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus dilalui. Selain itu lorongnya juga sempit. Konon arsitektur ini sengaja dibuat demikian. Sebab candi induk yang mirip dengan bentuk vagina ini, menurut beberapa pakar memang dibuat untuk mengetes keperawanan para gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas.


Tepat di atas candi utama di bagian tengah terdapat sebuah bujur sangkar yang kelihatannya merupakan tempat menaruh sesajian. Di sini terdapat bekas-bekas Kemenyan, dupa dan hio yang dibakar, sehingga terlihat masing sering dipergunakan untuk bersembahyang. Kemudian pada bagian kiri candi induk terdapat serangkaian relief-relief yang merupakan mitologi utama Candi Sukuh dan telah diidentifikasi sebagai relief cerita kidung sudamala. Urutan reliefnya adalah sebagai berikut.

Relief pertama.

Di bagian kiri dilukiskan sang Sahadewa atau Sadewa, saudara kembar Nakula dan merupakan yang termuda dari para Pandawa Lima. Kedua-duanya adalah putra Prabu Pandu dari Dewi Madrim, istrinya yang kedua. Madrim meninggal dunia ketika Nakula dan Sadewa masih kecil dan keduanya diasuh oleh Dewi Kunti, istri utama Pandu. Dewi Kunti lalu mengasuh mereka bersama ketiga anaknya dari Pandu: Yudhistira, Bima dan Arjuna. Relief ini menggambarkan Sadewa yang sedang berjongkok dan diikuti oleh seorang punakawan atau pengiring. Berhadapan dengan Sadewa terlihatlah seorang tokoh wanita yaitu Dewi Durga yang juga disertai seorang punakawan.

kisah Sudamala. Bagian penting dari relief ini adalah kisah Batari Uma dikutuk Batara Guru menjadi Durga yang berparas jelek. Sadewa bungsu dari pandawa anak Pandu dan Madrim diikat pada sebuah pohon dikorbankan sebagai tumbal untuk Durga. Pada kisah ini Sadewa berhasil meruwat dengan bantuan Batara Guru dan membebaskan Durga dari kutukan dan kembali kewajah aslinya sebagai seorang bidadari. Pembebasan Batari Uma dari kutukan yang dilakukan Sadewa dengan meruwat yang tergambar pada pahatan kiranya merupakan inti keyakinan masyarakat pembangun candi. Apakah ada hubungan dengan keadaan sosial politik pada masa itu? Di bagian akhir tulisan akan kita tarik benang merah keterkaitannya.

Relief kedua.

Pada relief kedua ini dipahat gambar Dewi Durga yang telah berubah menjadi seorang raksasi (raksasa wanita) yang berwajah mengerikan. Dua orang raksasa mengerikan; Kalantaka dan Kalañjaya menyertai Batari Durga yang sedang murka dan mengancam akan membunuh Sadewa.

Kalantaka dan Kalañjaya adalah jelmaan bidadara yang dikutuk karena tidak menghormati Dewa sehingga harus terlahir sebagai raksasa berwajah buruk. Sadewa terikat pada sebuah pohon dan diancam dibunuh dengan pedang karena tidak mau membebaskan Durga. Di belakangnya terlihat antara lain ada Semar. Terlihat wujud hantu yang melayang-layang dan di atas pohon sebelah kanan ada dua ekor burung hantu. Lukisan mengerikan ini kelihatannya ini merupakan lukisan di hutan Setra Gandamayu (Gandamayit) tempat pembuangan para dewa yang diusir dari sorga karena pelanggaran.

Relief ketiga.

ada bagian ini digambarkan bagaimana Sadewa bersama punakawannya, Semar berhadapan dengan pertapa buta bernama Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa di pertapaan Prangalas. Sadewa akan menyembuhkannya dari kebutaannya.

Relief keempat

Adegan di sebuah taman indah di mana sang Sadewa sedang bercengkerama dengan Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa serta seorang punakawan di pertapaan Prangalas. Tambrapetra berterima kasih dan memberikan putrinya kepada Sadewa untuk dinikahinya.

Relief kelima

Lukisan ini merupakan adegan adu kekuatan antara Bima dan kedua raksasa Kalantaka dan Kalañjaya. Bima dengan kekuatannya yang luar biasa sedang mengangkat kedua raksasa tersebut untuk dibunuh dengan kuku pañcanakanya.

Patung Garuda

Lalu pada bagian kanan terdapat dua buah patung Garuda yang merupakan bagian dari cerita pencarian tirta amerta (air kehidupan) yang terdapat dalam kitab adiparwa, kitab pertama Mahabrata. Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah prasasti. Kemudian sebagai bagian dari kisah pencarian amerta tersebut di bagian ini terdapat pula tiga patung kura-kura yang melambangkan bumi dan penjelmaan Dewa Wisnu. Bentuk kura-kura ini menyerupai meja dan ada kemungkinan memang didesain sebagai tempat menaruh sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong melambangkan Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk lautan mencari tirta amerta.


Arca Celeng ( Babi)

Selain candi utama dan patung-patung kura-kura, garuda serta relief-relief, masih ditemukan pula beberapa patung hewan berbentuk celeng (babi hutan) dan gajah berpelana. Pada zaman dahulu para ksatria dan kaum bangsawan berwahana gajah.
Lalu ada pula bangunan berelief tapal kuda dengan dua sosok manusia di dalamnya, di sebelah kira dan kanan yang berhadapan satu sama lain. Ada yang berpendapat bahwa relief ini melambangkan rahim seorang wanita dan sosok sebelah kiri melambangkan kejahatan dan sosok sebelah kanan melambangkan kebajikan. Namun hal ini belum begitu jelas. Kemudian ada sebuah bangunan kecil di depan candi utama yang disebut candi pewara. Di bagian tengahnya, bangunan ini berlubang dan terdapat patung kecil tanpa kepala. Patung ini oleh beberapa kalangan masih dikeramatkan sebab seringkali diberi sesajian.

Erotisme Sebuah Candi


Proses penciptaan pastilah manusia mempunyai konteks dengan apa yang kita sebut sebagai hubungan badani atau hubungan seks yang sudah ada sejak awal manusia diciptakan. Namun jarang sekali, di zaman semua itu dianggap tabu, hal ini dibicarakan secara terbuka. Sebuah candi dari zaman Majapahit, di kaki gunung Lawu, ternyata berani bercerita secara terbuka tentang erotisme ini. Candi Sukuh begitulah namanya, sebuah candi kuno yang bentuknya cukup artistik dengan candi-candi lainnya. Banyak cerita relief yang diperkirakan oleh para peneliti sezaman dengan Kerajaan majapahit. Bentuk bangunan Candi Sukuh agak berbeda dengan candi-candi lainnya. Sekilas rupa menyerupai bentuk piramida di Mesir
Perawan dan Jejaka Wajib Melangkahi Relief Dari kejauhan Candi Sukuh telah tampak karena letaknya di atas puncak bukit. Begitu kita mulai memasuki areal kawasan candi, pintu gerbang yang paling depan seakan-akan mengawasi seluruh lereng gerbang (samping teras teratas) dan anda akan tahu bahwa julukan "Candi Porno" terhadap candi ini bukanlah sensasi semata

Di halaman teras teratas terletak bangunan candi. Candi ini sangatlah istimewa. Bentuknya berteras-teras seperti piramida. Hanya puncaknya saja yang datar. Mungkin di puncak ini dahulu ada bangunan dari kayu yang sekarang sudah musnah. Teras-teras ini sungguh istimewa bentuknya karena candi-candi lain tidaklah demikian dan biasanya candi mempunyai bagian dasar yang bertangga. Bentuk piramida berteras ini bukanlah gaya bangunan Hindu melainkan gaya Indonesia asli. Seperti kebudayaan penduduk Kepulauan Polynesia pun mempunyai adat tempat untuk pemujaan seperti ini. Bila dibandingkan dengan bentuk nisan-nisan kuno di Jawa, sering adapula yang berbentuk piramida berteras. Bentuk piramida ini biasanya digunakan untuk memuja para arwah leluhur.

Lingga

Relief yang ada di Candi Sukuh seluruhnya mengesankan erotisme. Ada patung seorang lelaki yang memegang tanda jenis (alat kelamin), gajah, dan binatang-binatang lainnya dengan alat kelamin yang serba menonjol. Tentu saja maksudnya bukan untuk merangsang pengunjung, melainkan lambang misteri proses penciptaan. Tapi sangat disayangkan tangan-tangan usil sering kali memberikan komentar-komentar gaya modern pada relief-relief ini dengan berbagai tulisan kotor tanpa mengetahui maknanya. Lingga dan yoni adalah representasi dari alat kelamin laki-laki dan perempuan. Sering pula disepakati sebagai lambang kesuburan. Letaknya persis di pintu masuk ini dan begitu nyatanya membuat masyarakat sering menyebutnya sebagai candi tabu. Padahal, bisa jadi menurut budaya Jawa yang sarat akan lambang, penempatan lingga dan yoni itu sebagai pengusir bala bagi yang ingin masuk ke dalam candi.

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, lingga dan yoni di gapura dulunya sering dijadikan sarana untuk menguji kesucian perempuan dengan melangkahi simbol itu. Jika kain kebaya yang digunakannya robek berarti perempuan itu menjaga kesuciannya, namun jika kain kebayanya terlepas, maka perempuan itu dipercayai telah kehilangan kesuciannya. Mengenai julukan erotis, selain perlambangan lingga dan yoni di pagar, juga nampak pada relief-relief yang tersisa. Tapi sepertinya sudah tak banyak lagi. Mungkin karena terlalu vulgar, makanya relief itu tak ada lagi.
Lintasan sejarah

Walaupun tempatnya di Jawa Tengah tetapi Candi Sukuh sangat berbeda dengan candi-candi Prambanan, Sewu, Plaosan dan lain-lain dari sekitar abad 8--10. Susunan halaman, arca-arca, gaya pahatan, bahkan seluruh konsepsinya sangat berbeda.

Dwarapala

Arca Dewa Trimurti atau Bhuda tidak kita temukan di Candi Sukuh, tetapi yang kita temukan lingga (phalllus), arca Bima (sekarang di Solo), Garuda, arca laki-laki telanjang gaya megalitik, bahkan bentuk pertemuan alat kelamin pria dan wanita, ini menunjukkan gejala munculnya kembali tradisi pemujaan phallisme. Bentuk percandian yang menyerupai punden berundak dan salah satu candinya dipandang sebagai kediaman cikal-bakal Desa Sukuh dan lain-lain gejala, jelaslah konsepsi candi ini mengacu pada tempat pemujaan nenek moyang dari masa pra pengaruh Hindu. Munculnya ceritera-ceritera Sudamala, Garudeya, Bima Suci Sthanikaparwa semua bertemakan ruwatan atau pelepasan dari bermacam-macam belenggu keduniawian.

Beberapa angka tahun dan candra-sangkala yang terdapat di Candi Sukuh mengacu ke pertengahan abad 15, bersamaan dengan periode akhir Majapahit seperti candi-candi lain di lereng Gunung Lawu. Konsepsi dan bentuknya lebih dekat dengan Jawa Timur dan Bali daripada candi-candi sederhana di Jawa Tengah.

Karena unik nenek moyang kita di lereng Lawu ini tidak luput dari berbagai ancaman alamiah seperti gempa bumi, tanah longsor, grobotan lumut, ganggang, rumput dan juga dari manusia yang suka mencuri, maka, upaya pelestarian terus dilakukan. Pemugaran oleh Depdikbud dilakukan antara 1980--1983, bahkan di luar halaman candi telah dibangun Balai pelepas lelah sambil menikmati panorama. Jalan, tempat parkir dan perturasan telah dibangun pula sehingga keseluruhan Candi Sukuh makin menarik untuk dikunjungi oleh siapapun.

Banyak orang mengidentikkan candi Sukuh sebagai candi porno atau candi erotis. Bagaimana tidak, ketika penulis studi lapangan dengan mahasiswa jurusan Sejarah UKSW, banyak rekan-rekan berpikiran ”ngeres”, menyaksikan pahatan (relief) vulgar yang menggambarkan secara utuh alat kelamin pria yang sedang ereksi, berhadap-hadapan langsung dengan vagina di lantai teras pertama gapura candi. Menurut ceritera rakyat dari mulut ke mulut

Konon, laki-laki yang ingin menguji apakah kekasihnya masih perawan atau tidak, dapat datang ke tempat ini, dengan cara meminta si wanita melompati relief tersebut. Atau suami yang ingin menguji kesetiaan istrinya, dia akan meminta sang istri melangkahi relief ini. Jika kain kebaya yang dikenakannya robek, maka dia tipe isteri setia. Tapi sebaliknya, jika kainnya hanya terlepas, sang isteri diyakini telah berselingkuh

Ceriteranya memang ada, tetapi faktanya mungkin tinggal cerita? Masih ada banyak lagi indikasi (berupa relief dan arca) yang membawa pemikiran pengunjung sampai pada kesimpulan bahwa candi ini memang candi rusuh (saru atau tabu)

Untuk memahami apa dan bagaimana keyakinan yang terdapat pada ”ritual” ataupun upacara di candi Sukuh abad XV, 600-an tahun yang silam, perlu kita simak makna-makna relief serta patung yang terdapat di candi. Bagian relief dan arca pada candi banyak merupakan symbol dan rangkaian kisah (cerita) dalam mithologi Hindu. Kisah dan symbol yang dipahatkan serta diarcakan kebanyakan berthema ”PEMBEBASAN” yang berkait erat dengan ”RUWATAN”.

Arca Candi sukuh

Ruwatan adalah salah satu adat Jawa yang tujuannya untuk membebaskan orang, komunitas atau wilayah dari ancaman bahaya. Inti acara ruwatan adalah doa memohon perlindungan pada Allah (Tuhan) dari ancaman bahaya-bahaya seperti bencana alam dll. Juga doa mohon pengampunan dosa-dosa dan kesalahan yang telah dilakukan yang bisa menyebabkan bencana. Ruwatan memiliki makna mengembalikan keadaan sebelumnya (suatu keadaan yang baik, menuju social equilibrium) Dapat dikatakan bahwa upacara ruwatan adalah ritual tolak bala atau upacara membuang sial (terjemahan dari Wikipedia berbahasa Jawa)

Patung Kura-Kura besar di depan candi merupakan symbol dari Awatara Visnu, yaitu KURMA AWATARA.

Awatara dalam agama Hindu adalah inkarnasi dari Tuhan Yang Maha Esa maupun manifestasinya. Tuhan Yang Maha Esa ataupun manifestasinya turun ke dunia, mengambil suatu bentuk dalam dunia material, guna menyelamatkan dunia dari kehancuran dan kejahatan, menegakkan dharma dan menyelamatkan orang-orang yang melaksanakan Dharma/Kebenaran

Sang Kura-Kura sebagai perwujudan dewa Visnu (pemelihara dunia) menjadi tempat tumpuan membantu para dewa memutar dan mengaduk-aduk samodra dengan gunung Mandara, untuk mendapatkan TIRTA AMERTA (air kehidupan). Barang siapa entah itu manusia, dewa, raksasa, asura meminum air kehidupan itu maka ia akan terbebas dari kematian dan mengalami hidup dalam keabadian. Keyakinan akan kehidupan kekal/abadi dikemudian hari dan terbebas dari kematian, merupakan harapan-harapan religi untuk digapai/dialami.

Bersebelahan dengan relief cerita Sudamala, ada obelisk yang menyiratkan cerita GARUDEYA. Garuda putra dewi Winata ”meruwat” ibunya dari perbudakan seorang madunya dewi Kadru. Dewi Winata menjadi budak Kadru karena kalah bertaruh tentang warna ekor kuda Uchaiswara. Dewi Kadru menang dalam bertaruh sebab dengan curang dia menyuruh anak-anaknya yang berujud ular naga berjumlah seribu menyemburkan bisa-bisanya (racun) di ekor kuda Uchaiswara sehingga warna ekor kuda berubah hitam.

Dewi Winata dapat diruwat sang Garuda dengan cara memohon “tirta amerta” (air kehidupan) kepada para dewa. (Kapanlagi.com) Sekali lagi ceritera ”Pembebasan” dengan cara ruwatan diobeliskkan pada ornamen candi Sukuh, semakin meyakinkan kita bahwa memang dahulu tempat ini difungsikan untuk ritual ruwatan.

Garudeya

Depan kanan candi Utama pada obelisk, terdapat relief ”Bimo Bungkus” yang mengkisahkan ruwatan versi Mahabharata. Bima yang lahir dari rahim Kunthi dengan Pandu membuat gempar. Mengapa, karena putra kedua Pandu itu berujud bungkus yang sulit dibuka. Suasana kian hangat. Atas kejadian ini Betara Guru mengutus Ga­jahsena (Ganesya), putranya untuk memec­ahkan bungkus Bima. Usaha tersebut berhasil dan diberikannya pakaian khusus pada Bima yang kemudian diberi nama Bratasena. Paparan kisah Bima Bungkus pada relief ini inti ceritanya yaitu terbebasnya Bima (jawa:Werkudara) dari ancaman kematian, karena lahir terbungkus ari-ari yang tidak dapat pecah (terbuka). Ganeca menolong (baca: meruwat) Bima hingga dilahirkan.

Dari relief, obelisk dan arca di candi Sukuh, banyak didapati symbol-symbol seksual. Symbol-symbol tersebut mengarahkan kita pada suatu aliran penganut paham Tantra. Menurut paham Tantra, untuk mencapai tujuan hidup orang mengucapkan mantra-mantra dan upacara-upacara gaib, dapat bersatu dengan sakti bahkan menjadi sakti itu sendiri. Tata cara pelaksanaan pemujaan sakti menurut paham Tantra, bagi orang yang bukan penganut Tantra menimbulkan kesan yang tidak baik, karena menurut ukuran masyarakat termasuk larangan atau melanggar kesopanan

Pada paham Tantrayana dikenal dua aliran, yaitu aliran kiri (niwerti) dan kanan (prawerti). Aliran kiri mempunyai anggapan bahwa untuk mencapai moksa setiap orang harus berusaha sebanyak mungkin melakukan 5 Ma (pancatattwa=Jawa Mo-Limo) yang terdiri dari (a) Matsya (makan ikan), (b) Mamsa (makan daging), (c) Mudra (makan padi-padian), (d) Maithuna (melakukan hubungan seks secara bebas). Dari sumber-sumber kesusasteraan maupun peninggalan arca yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia termasuk di candi Sukuh, kemungkinan aliran inilah yang banyak dianut pada zaman dahulu. Sedangkan aliran kanan beranggapan bahwa untuk mencapai moksa seseorang harus melakukannya dengan Samadhi dan Yoga.(Made Suardana)

Penganut paham Tantrayana berkeyakinan untuk mencapai pembebasan dari dosa (mencapai Moksa), orang harus berusaha sebanyak mungkin melakukan 5 Ma (Jawa=Mo-Limo). Benarkah di abad XV di candi Sukuh pada masa Majapahit akhir para penganut Tantrayana menggunakannya untuk upacara Kamamahapancikam (upacara 5 Ma)? Apa hubungannya dengan keadaan masyarakat di era tersebut?

Runtuhnya Majapahit dengan sangkalan “Sirno Ilang Kertaning Bhumi” Sirno=0, Ilang=0, Kerta=4, Bhumi=1 (0041) dibalik = 1400 Caka + 78 = 1478 Masehi pada Babad Tanah Jawa, berdekatan dengan saat dibangun candi Sukuh (1437 – 1456). Sebagaimana kita pahami dan pernah alami, bahwa saat-saat runtuhnya sebuah rezim/kekuasaan/negara, sering terjadi keadaan tidak menentu. Kekacauan politik, keadaan tidak aman, perampokan dan degradasi moral serta tidak berjalannya aturan meliputi serta menekan masyarakat. Pranata sosial masa transisi seperti di atas menggerakkan kelompok-kelompok (marginal) “mengundurkan diri” atau mengasingkan diri dari situasi mencari selamat (baca: kebebasan) dan berusaha melalui caranya sendiri memperbaiki keadaan. Pencarian atau “Pembebasan” oleh kelompok marginal “Sukuh” dibawa ke dalam situasi ritual (aktivitas ritual) meruwat keadaan dan mengusahakan agar situasi sosial kembali ke equilibriumnya.

Meruwat dalam kisah Sudamala, Penyelamatan (pembebasan) Wisnu melalui Kurma Awatara, Kisah Garudea, sampai ruwatan versi Mahabharata dalam lakon Bimo Bungkus adalah bentuk usaha mengembalikan situasi/keadaan seperti sebelumnya saat Majapahit jaya gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo !

Jika interpretasi-interpretasi di atas berkaitan dan benar, dapat dipastikan bahwa relief dan arca serta obelisk yang dipahatkan di candi Sukuh menuntun kita sedikit memahami keadaan sosial religius masyarakat sekitar Sukuh pada abad XV. Namun untuk menguji kebenarannya, kita masih memerlukan kajian yang lebih detail serta bukti/fakta-fakta sejarah yang cukup mengenai keseluruhannya.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to " "

Posting Komentar