CANDI PARI

( PERSEMBAHAN UNTUK RAKYAT MAJAPAHIT )


Porong terkenal dengan kota lumpurnya, namun siapa sangka Porong menyimpan sebuah cagar budaya yang tak semua orang tahu. Sebagai suatu peninggalan sejarah ternyata Candi Pari kurang mendapatkan perhatian Pemerintah Daerah Sidoarjo. Dengan kondisi seadanya candi tetap dapat bertahan hingga kini. Namun keseriusan serta perhatian dari pemerintah daerah tetap diharapkan demi kelestarian cagar budaya.

Candi ini merupakan peninggalan dari Kerajaan Majapahit. Ini dilihat dari cirinya yaitu batu bata yang digunakan berwarna merah. Candi Pari didirikan sebagai ungkapan terima kasih dan untuk mengenang suami-istri yang telah membantu Kerajaan Majapahit pada saat mereka mengalami musim panceklik. Candi Pari yang memiliki tinggi 13,80 meter, panjang 13,40 meter, lebar 13,40 meter ini terletak di Dusun Candi Pari. Meski memiliki nilai budaya, candi ini kurang mendapatkan perhatian dari Pemkab Sidoarjo.

Ini mengakibatkan tidak banyak orang yang tahu tentang candi ini bahkan sebagian orang yang tahu pun enggan untuk datang. Kurangnya promosi serta dana dari pemerintah menyebabkan Candi Pari jauh dari wisatawan. Badan candi ditumbuhi lumut yang menandakan candi ini tak terurus.

Sebenarnya candi yang didirikan pada 1371 M pernah dipugar yaitu pada tahun 1994 hingga 1999. Pemugaran dilakukan karena banyak batu bata yang terlepas dari badan candi sehingga harus diganti dengan batu bata yang baru dan yang lama ditanam di sekitar candi.

Candi pari berdiri diatas bidang tanah ukuran 13,55 X 13,40 meter, dengan ketinggian 13,80 meter. Candi Pari tidak memiliki bentuk seperti umumnya candi-candi jawa timur lainnya. Bentuknya yang agak tambun dan tampak kokoh seperti candi-candi di Jawa Tengah. Pengaruh Champa (salah satu wilayah di vietnam) nampak cukup kental mempengaruhi bentuk candi ini.

NJ Krom (Belanda) dalam bukunya "Inleiding tot de Hindoe", menyebutkan hubungan antara Indonesaia dan Champa sudah terjalin sejak jaman prasejarah, hal ini berdasarkan temuan nekara-nekara perunggu gaya Dong - Son di Jawa.

Pada masa klasik hubungan dagang ini semakin meningkat lagi. Sumber prasasti dari periode Jawa Timur abad 15 masehi, terdapat dalam Hikayat Hasanudin (Jan Edel 1983) dan kitab sejarah Melayu (Situmorang dan Tecuw 1952). Peristiwa tersebut terjadi setelah jatuhnya pemerintahan Raja Pan Kubah akibat serangan Raja Koci, yaitu pengungsian orang-orang Campa ke Jawa karena stabilitas di negeri Campa tidak aman. Dalam hubungannya dengan Candi Pari, pengungsian orang-orang Campa ke Jawa tahun 1318 Masehi oleh penguasa Majapahit kedatangannya diterima dengan baik, konsekuensi logisnya disediakan tempat untuk Raja Campa dan pengikutnya dan akhirnya asimilasi tersebut tampak pada bangunan di Candi Pari, yakni bangunan suci berkarakter Jawa yang dipengaruhi kesenian Campa.

Candi pari didirikan pada tahun 1293 saka (1371 masehi), sesuai dengan apa yang dipahatkan diatas pintu masuk candi. Dengan demikian Candi Pari didirikan pada masa kejayaan Majapahit dibawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Adapun ciri-ciri Campa pada banguna Candi Pari justru menunjukkan tingginya toleransi dibidang kebudayaan di masa tersebut.

Bangunan Candi Pari didominasi oleh bata merah pada bagian badannya, sedangkan ambang atas dan bawah pintu masuk bilik candi menggunakan batu andesit. Bagian kaki candi memiliki ukuran 13,55 * 13,40 meter dn tinggi 1,50 meter, pada bagian ini terdapat dua buah jalan masuk ke bilik candi dalam bentuk susunan/trap anak tangga dengan arah utara-selatan dan selatan-utara, jalan masuk seperti ini tidak ditemui dalam candi-candi lain dijawa timur. Pada bagian dalam bilik candi saat ini tidak ditemukan arca sama sekali, akan tetapi dibagian tengah dari sisi dinding timur ( diantara lubang angin ) terdapat sebuah tonjolan sebagai sandaran dinding arca. Dulu daerah sekitar candi pernah ditemukan dua arca Siwa Mahadewa, dua arca Agastya, tujuh arca Ganesha dan tiga arca Budha yang semuanya telah disimpan di Museum Nasional Jakarta.

Candi Pari tidak memiliki ornamen. Pada kaki candi terdapat hiasan berbentuk panel yang polos tanpa hiasan. Sedangkan dibagain tubuh candi terdapat pahatan semacam panel-panel besar polos tanpa hiasan. Di dinding barat tepat diatas pintu masuk terdapat hiasan segitiga sama sisi dengan bagian kecilnya berada di atas.

Pada bagian tengah dinding utara, timur dan selatan terdapat hiasan miniatur yang atapnya bertingkat lima dengan puncaknya berbentuk kubus, bagian atas ambang pintu dan pada masing-masing tingkatan atap miniatur candi terdapat hiasan teratai dan dipuncaknya ada hiasan (angka) atau Sangkha

Sebelum masuk ke dalam bilik candi terdapat sebuah tangga yang sedikit curam sehingga kita harus berhati-hati jika hendak menaiki tangga untuk masuk ke dalam bilik candi. Pada bagian pinggul candi ini menggunakan perbingkaian yang berbentuk bingkai leher (Jangga) yang juga tanpa hiasan. Pintu masuk candi sendiri berbentuk penampil, yaitu pengembangan dari bagian sisi-sisi candi tersebut.

Pada bagian dalam bilik candi saat ini tidak ditemukan arca sama sekali, akan tetapi dibagian tengah dari sisi dinding timur (diantara lubang angin) terdapat sebuah penampil sebagai sandaran dinding arca. Dahulu di daerah sekitar candi pernah ditemukan dua arca Siwa Mahadewa, dua arca Agastya, tujuh arca Ganesha dan tiga arca Buddha yang semuanya telah disimpan di Museum Nasional Jakarta.

Dengan adanya arca Siwa Mahadewa dan Buddha dalam satu candi tentu akan mengundang pertanyaan mengenai corak agama candi ini. Dapat dikatakan Candi Pari bercorak agama Siwa-Buddha. Pembaruan agama Siwa-Buddha pada zaman Majapahit antara lain terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada 2 candi yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura sebagai Buddha.

Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan dimana Kenyataan Tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda. Pembaharuan/pertemuan agama Siwa dan agama Buddha pertama kali terjadi pada masa pemerintahan raja Krtanagara, raja Singasari terakhir. Apa maksudnya belum jelas, mungkin disamping sifat toleransinya yang sangat besar, juga terdapat alasan lain yang lebih bersifat politik, yaitu untuk memperkuat diri dalam menghadapi musuh dari Cina, Kubilai Khan. Untuk mempertemukan kedua agama itu, Krtanagara membuat candi Siwa-Buddha yaitu Candi Jawi di Prigen dan Candi Singasari di dekat kota Malang.

Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta (Siddantatapaksa), kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. yang mulai berkembang di Jawa Timur pada masa Raja Sindok (abad X). Sumber ajaran Siwasiddhanta adalah Kitab Tutur (Smrti), dan yang tertua adalah Tutur Bhwanakosa yang disusun pada jaman Mpu Sindok, sedang yang termuda dan terpanjang adalah Tutur Jnanasiddhanta yang disusun pada jaman Majapahit.

Walaupun begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun 1447. Pejabat resmi keagamaan pada masa pemerintahan Raden Wijaya (Krtarajasa) ada 2 pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian 5 pejabat Siwa dibawahnya yang disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.

Sedangkan di bagian tubuh candi menggunakan perbingkaian berbentuk bingkai rata pada bagian bawah, bangian tengah berbentuk dinding rata, dan di bagian atasnya menggunakan bingkai penyangga, sehingga bentuk keseluruhannya seperti bingkai leher (Jangga).Di dinding barat tepat diatas pintu masuk terdapat hiasan segitiga sama sisi dengan bagian kecilnya berada di atas. Ornamen yang ada pada dinding sisi utara, timur dan selatan candi berbentuk penampil berupa miniatur candi dengan atapnya berbentuk prasada, yaitu bentuk atap bertingkat-tingkat dengan puncaknya berbentuk kubus. Miniatur candi itu sendiri memiliki lima tingkat. Di sisi miniatur candi tersebut terdapat masing-masing sebuah lubang ventilasi. Di bagian atas ambang pintu dan pada masing-masing tingkatan atap miniatur candi terdapat hiasan teratai. Bagian atap candi diperkirakan berbentuk prasada, yaitu bentuk atap yang bertingkat-tingkat, berangsur mengecil dengan kubus di puncaknya.

Hal ini di dasarkan pada ornamen yang ada pada dinding sisi utara, timur dan selatan candi yang berbentuk penampil berupa miniatur candi. Meski memiliki nilai budaya, candi ini kurang mendapatkan perhatian dari Pemkab Sidoarjo. Ini mengakibatkan tidak banyak orang yang tahu tentang candi ini bahkan sebagian orang yang tahu pun enggan untuk datang. Kurangnya promosi serta dana dari pemerintah menyebabkan Candi Pari jauh dari wisatawan. Badan candi ditumbuhi lumut yang menandakan candi ini tak terurus. Candi Pari yang kita lihat saat ini merupakan hasil pemugaran tahun 1994-1999 oleh Kanwil Depdikbud dan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur melalui dana Proyek Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur.

Pemugaran dilakukan karena banyak batu bata yang terlepas dari badan candi sehingga harus diganti dengan batu bata yang baru dan yang lama ditanam di sekitar candi. Meskipun terlupakan oleh pemerintah daerah setempat, tetapi Candi Pari masih tetap diingat oleh Dinas Pendidikan Provinsi. Dibuktikan dengan upaya mereka menggandeng sekolah untuk datang mengunjungi Candi Pari.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "CANDI PARI"

Posting Komentar