Mengenai penundukan beberapa tempat di Tanjungpura atau Kalimantan terdapat pemberitaannya dalam Sejarah Dinasti Ming (Groeneveldt, W.P, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, compiled from Chinese source VBG XXXIX, 1880. Cetakan ulang : Historical Notes on Indonesia and Malaya, Bhatara, Jakarta, 1960. hal. 112-113), yang kiranya patut dipercaya seperti berikut ini :
“Kaisar Cina mengeluarkan pengumuman tentang pengangkatan Hiawang sebagai raja Pu-Nie untuk menggantikan ayahnya. Hiawang dan pamannya konon memberitahukan bahwa kerajaannya setiap tahun mempersembahkan upeti sebanyak 40 kati kapur barus kepada raja Jawa. Mereka mohon agar Kaisar suka mengeluarkan pengumuman tentang pembatalan upeti tersebut, agar upeti tersebut dapat di kirim ke istana Kaisar …”.
Pu-Nie biasa disamakan dengan Brunei, di bagian Kalimantan, dengan demikian jelaslah bahwa Brunei adalah merupakan kerajaan bawahan Majapahit pada pertengahan kedua abad empatbelas. Hal ini sesuai dengan pemberitaan kakawin Negarakertagama dalam pupuh XIV/1 yang menyebut Barune.
Penyebutan Kutei, dibagian Timur Kalimantan, terdapat dalam pupuh XII/1 sebagai Tanjung Kutei. Hubungan antara Kutei dan Majapahit diberitakan dalam Silsilah Kutei (Silsilah Kutei diterbitkan oleh Dr. C.A. Mees sebagai thesis Universitas Leiden di bawah judul De Kroniek van Kutei, Santpoort, 1928), sebagai berikut :
“Kemudian Maharaja Sultan dan Maharaja Sakti berangkat ke Majapahit untuk mempelajari tatanegara Majapahit. Ikutlah bersama mereka ialah Maharaja Indra Mulia dari Mataram. Tersebut perkataan Maharaja Sultan dua bersaudara di Majapahit. Mereka diajarkan tata-cara di Keraton dan adat yang dipakai oleh segala menteri. Tidak beberapa lama merekapun kembali ke Kutei. Sebuah keraton yang menurut tata-cara Jawa pun di dirikan. Sebuah pintu gerbang yang dibawa pulang dari Majapahit dijadikan hiasan keraton ini …..”.
Dongengan tersebut jelas menunjukkan hubungan antara Kutei dan Majapahit yang mungkin sekali bertarikh dari pertengahan abad empat belas, di masa kejayaan Majapahit.
Hubungan Banjar dan Kota Waringin di Kalimantan Selatan dengan Majapahit, diberitakan dalam Hikayat Banjar dan Kota Waringin (Hikayat Banjar dan Kota Waringin diterbutkan oleh Dr. A.A. Cense sebagai thesis Universitas Leiden di bawah judul De Kroniek van Bandjarmasin, Santpoort, 1928 ; dan oleh Dr. J.J. Ras di bawah judul Hikayat Banjar, The Haque, 1968), dalam bentuk perkawinan antara Puteri Junjun Buih, anak pungut Lembu Mangurat dan Raden Suryanata dari Majapahit seperti berikut : “Adapun raja Majapahit itu sesudah beroleh anak yang keluar dari matahari ini, masih beroleh enam anak lainnya dan negeri pun terlalu makmur. Maka pada keesokan harinya Lembu Mangurat pun berangkat ke Majapahit dengan pengiring yang banyak sekali. Sesampainya di Majapahit, Lembu Mangurat diterima dengan baik. Permintaan Lembu Mangurat akan Raden Putra sebagai suami Puteri Junjung Buih juga dikabulkan. Maka kembalilah Lembu Mangurat ke negerinya, pesta besar-besaran disediakan untuk mengawinkan Puteri Junjung Buih dengan Raden Putera. Sebelum perkawinan dilangsungkan, suatu suara ghaib meminta Raden Putera menerima mahkota dari langit. Mahkota itulah yang akan meresmikan Raden Putera menjadi raja secara turun-temurun. Hanya keturunannya yang diridhai Allah yang boleh memakai mahkota itu. Maka pesta perkawinanpun berlangsunglah. Adapun nama Raden Putera yang sebenarnya adalah Raden Suryanata yang artinya Raja Matahari ..”.
Selanjutnya silahkan membaca bagian kelima
0 Response to "Terbongkar PERLUASAN WILAYAH KERAJAAN MAJAPAHIT (4)"
Posting Komentar