Naskah Pararaton (1357 M) dan Nagarakertagama pupuh XIII, XIV dari zaman kerajaan Majapahit dengan tegas menyebutkan keberadaan Sunda sebagai sebuah kerajaan dan wilayahnya.
Nama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397M untuk menyebut ibukota kerajaan yang didirikannya, Tarumanagara. Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13 ingin mengembalikan keharuman Tarumanagara yang semakin menurun di purasaba (ibukota) Sundapura. Pada tahun 670M ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda (selanjutnya punya nama lain yang menunjukkan wilayah/pemerintahan yang sama seperti Galuh, Kawali, Pakuan atau Pajajaran). Karajaan Sunda (669-1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara.
Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik yang menceriterakan perjalanan Prabu Bujangga Manik, seorang pendeta Hindhu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16, yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627.
Batas kerajaan Sunda di sebelah timur adalah sungai Cipamali yang saat ini sering disebut sebagai kali Brebes dan sungai Ciserayu yang saat ini disebut Kali Serayu di Provinsi Jawa Tengah.
Sumber yang menerangkan mengenai kerajaan ini yaitu sebuah prasasti di Jakarta, sebuah prasasti di Kota Kapur Bangka, dan sebuah prasasti di Banten, serta 5 prasasti yang terdapat di Bogor. Sedangkan sumber lain telah ditemukan yaitu dua buah arca di Cibuaya merupakan pelengkap bukti cerita Kerajaan Tarumanegara. Ketika Tarumanegara mengalami kemunduran, di tanah Sunda berdiri beberapa kerajaan, diantaranya Kuningan, Galuh, dan Sunda.Kerajaan-kerajaan tersebut bergabung, dan disebut kerajaan Sunda.
Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan Kerajaan Sriwijaya.
Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri. dari pihak Tarumanagara sendiri, Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara. Tarusbawa selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda dan mendirikan Kerajaan Sunda , Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Sukiapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 16 Mei 669 M). Batas kerajaan Sunda dan Galuh dipisahkan oleh Sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).
Berdirinya Kerajaan Sunda serta “merdekanya” Kerajaan Galuh, sekaligus pula merupakan pertanda berakhirnya era kekuasaan Kerajaan Tarumanegara. Berbeda dengan Kerajaan Galuh, Kerajaan Sunda pada masa awal berdirinya sama sekali tidak pernah mengalami masa-masa perwalian Kerajaan Tarumanegara.
Dengan demikian, sewaktu didirikan tahun 670 oleh Tarusbawa, Kerajaan Sunda langsung tampil sebagai kerajaan yang merdeka.Sepanjang eksistensinya selama kurang lebih 909 tahun (670 M – 1579 M),
Kerajaan Sunda pernah mengalami tiga kali integrasi politik dengan Kerajaan Galuh.
· Integrasi politik pertama berlangsung dari tahun 723 M sampai 739 M, dengan tokoh pemersatunya, Sanjaya Harisdharma, yang sekaligus menjadi raja pertama yang memerintah kerajaan produk integrasi, Sunda-Galuh. Di samping Sanjaya, raja lain yang pernah memerintah dalam masa integrasi pertama ini adalah Rakeyan Tamperan. Belum dapat diketahui dengan jelas kapan integrasi politik pertama ini berakhir atau kapan kedua kerajaan ini saling memisahkan diri kembali.
· Integrasi politik kedua berlangsung dalam era pemerintahan Rakeyan Wuwus (819-891 M), tepatnya tahun 852 M. Integrasi ini disebabkan karena raja Galuh (Prabu Linggabumi) tidak memiliki keturunan. Oleh karena itu, tahtanya diserahkan kepada Rakeyan Wuwus setelah sebelumnya Rakeyan Wuwus menikahi adik Prabu Linggabumi. Namun demikian, sebagaimana halnya saat integrasi politik pertama, integrasi politik kedua yang kemudian diperkuat lagi oleh adanya perkawinan politis lainnya antara adik Rakeyan Wuwus dengan Prabu Darmaraksabuana (pengganti Rakeyan Wuwus), juga belum memiliki kejelasan data lebih lanjut, khususnya mengenai masa akhir integrasi politik.
· Integrasi politik ketiga berlangsung dari tahun 1482 M sampai 1579 M, dengan tokoh pemersatunya, Sri Baduga Maharaja. Dalam masa integrasi politik ketiga ini, di samping Sri Baduga Maharaja masih ada lima raja lainnya yang pernah memerintah, yakni, Sang Prabu Surawisesa (1521-1535 M), Sang Prabu Dewatabuwana (1535 – 1543 M), Sang Prabu Ratu (1543 – 1551), Sang Prabu Nilakendra (1551 – 1567 M), dan raja terakhir Sang Ratu Ragamulya atau Prabu Surya Kancana (1567 – 1579). Enam raja yang berkuasa dalam masa integrasi politik ketiga ini sekaligus pula menjadi bagian dari 40 orang raja yang pernah memerintah Kerajaan Sunda.
Kerajaan Sunda sebagai sebuah kerajaan “besar” juga memiliki kerajaan-kerajaan kecil atau kerajaan daerah yang berkedudukan sebagai kerajaan bawahan. Kerajaan-kerajaan kecil yang pernah eksis dan menjadi bawahan Kerajaan Sunda di antaranya adalah, Kerajaan Talaga, Saunggaluh, Cirebon Girang, dan Kerajaan Tanjung Barat. Kerajaan Sunda juga telah memiliki suatu struktur pemerintahan yang relatif telah teratur. Gambaran mengenai struktur pemerintahan Kerajaan Sunda ini setidaknya terbagi dalam dua versi.
· Pertama, versi Tomi Pires. Kedua, versi naskah Sanghyang Sikakanda Ng Karesian. Menurut Tomi Pires, di samping raja yang memerintah di pusat kerajaan, di daerah-daerah juga berkuasa raja-raja atas wilayah yang lebih kecil. Raja-raja daerah ini dapat menjadi raja pusat apabila pada suatu waktu raja pusat tidak memiliki keturunan.
Di luar raja pusat dan raja-raja daerah, terdapat pula enam orang syahbandar sebagi wakil raja (pusat) di enam pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda, yaitu, Banten, Pontang, Cegede, Tamgara, Kalapa, dan Cimanuk.
· Berbeda dengan Pires, naskah Sanghyang Siksakanda Ng Karesian relatif lebih lengkap memberikan gambaran tentang struktur pemerintahan Kerajaan Sunda. Di samping raja, struktur pemerintahan Kerajaan Sunda juga dilengkapi oleh jabatan-jabatan seperti mangkubumi, nunangganan, mantri, dan wado pada struktur paling bawah.
Dari kedua sumber tersebut, dapatlah kiranya disusun sebuah struktur pemerintahan Kerajaan Sunda yang relatif lengkap. Di tingkat pusat, kekuasaan tertinggi dipegang oleh raja. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, ia dibantu oleh seorang mangkubumi yang membawahi beberapa orang nunangganan. Selanjutnya, nunangganan sendiri membawahi beberapa orang mantri dan akhirnya untuk membantu kerja para mantri, mereka (para mantri) membawahi pula wado-wado. Di luar itu, terdapat pula putra mahkota yang akan menggantikan kedudukan raja jika raja meninggal dunia atau mengundurkan diri. Untuk mengurus daerah-daerah yang luas, raja dibantu oleh beberapa orang raja daerah. Dalam keadaan raja tidak meninggalkan pewaris tahta, maka salah seorang raja daerah dapat diangkat untuk menggantikan kedudukan raja (pusat) sebagai raja terbesar dan bertahta di ibukota kerajaan.
Menurut sejarawan W.J Van der Meulen, Pusat Asli Daerah (kerajaan) Galuh, yaitu disekitar Kawali (Kabupaten Ciamis sekarang). Selanjutnya W.J Van der Meulen berpendapat bahwa kata "galuh", berasal dari kata "sakaloh" berarti "dari sungai asalnya", dan dalam lidah Banyumas menjadi "segaluh". Dalam Bahasa Sansekerta, kata "galu" menunjukkan sejenis permata, dan juga biasa dipergunakan untuk menyebut puteri raja (yang sedang memerintah) dan belum menikah. Galuh Kumara berlokasi di Tegal beribukota di Medangkamulyan Tarusbawa bersahabat baik dengan raja Galuh Bratasenawa atau Sena. Purbasora –yang termasuk cucu pendiri Galuh– melancarkan perebutan tahta Galuh di tahun 716M karena merasa lebih berhak naik tahta daripada Sena. Sena melarikan diri ke Kalingga (istri Sena; Sanaha, adalah cucu Maharani Sima ratu Kalingga). Sanjaya, anak Sena, ingin menuntut balas kepada Purbasora.
Sanjaya mendapat mandat memimpin Kerajaan Sunda karena ia adalah menantu Tarusbawa. Galuh yang dipimpin Purbasora diserang habis-habisan hingga yang selamat hanya satu senapati kerajaan, yaitu Balangantrang. Sanjaya yang hanya berniat balas dendam terpaksa harus naik tahta juga sebagai Raja Galuh, sebagai Raja Sunda ia pun harus berada di Sundapura.
Sunda-Galuh disatukan kembali hingga akhirnya Galuh diserahkan kepada tangan kanannya yaitu Premana Dikusuma yang beristri Naganingrum yang memiliki anak bernama Surotama alias Manarah.
Premana Dikusuma adalah cucu Purbasora, harus tunduk kepada Sanjaya yang membunuh kakeknya, tapi juga hormat karena Sanjaya disegani, bahkan disebut rajaresi karena nilai keagamaannya yang kuat dan memiliki sifat seperti Purnawarman. Premana menikah dengan Dewi Pangreyep –keluarga kerajaan Sunda– sebagai ikatan politik.
Di tahun 732M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Medang dari orang tuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara putranya, Tamperan dan Resiguru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resiguru Demunawan. Premana akhirnya lebih sering bertapa dan urusan kerajaan dipegang oleh Tamperan yang merupakan ‘mata dan telinga’ bagi Sanjaya. Tamperan terlibat skandal dengan Pangreyep hingga lahirlah Banga (dalam cerita rakyat disebut Hariangbanga). Tamperan menyuruh pembunuh bayaran membunuh Premana yang bertapa yang akhirnya pembunuh itu dibunuh juga, tapi semuanya tercium oleh Balangantrang.
Balangantrang dengan Manarah merencanakan balas dendam. Dalam cerita rakyat Manarah dikenal sebagai Ciung Wanara. Bersama pasukan Geger Sunten yang dibangun di wilayah Kuningan Manarah menyerang Galuh dalam semalam, semua ditawan kecuali Banga dibebaskan. Namun kemudian Banga membebaskan kedua orang tuanya hingga terjadi pertempuran yang mengakibatkan Tamperan dan Pangreyep tewas serta Banga kalah menyerah.
Perang saudara tersebut terdengar oleh Sanjaya yang memimpin Medang atas titah ayahnya. Sanjaya kemudian menyerang Manarah tapi Manarah sudah bersiap-siap, perang terjadi lagi namun dilerai oleh Demunawan, dan akhirnya disepakati Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga.
Konflik terus terjadi, kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu belum dapat diterima secara umum, sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh. Karena konflik tersebut, tiap Raja Sunda yang baru selalu memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat pemerintahan. Dengan demikian, pusat pemerintahan itu berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya. Antara tahun 895M sampai tahun 1311M kawasan Jawa Barat diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-iringan rombongan raja baru yang pindah tempat. Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, Summa Oriental (1513 – 1515), menyebutkan batas wilayah kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai berikut:
Sementara orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa kerajaan Sunda mencakup sepertiga pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Katanya, keliling pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Cimanuk. Sedangkan menurut naskah Wangsakerta, wilayah kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antar keluarga kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.
Menurut sejarah kota Ciamis pembagian wilayah Sunda-Galuh adalah sebagai berikut:
· Pajajaran berlokasi di Bogor beribukota Pakuan
· Galuh Pakuan beribukota di Kawali
· Galuh Sindula yang berlokasi di Lakbok dan beribukota Medang Gili
· Galuh Rahyang berlokasi di Brebes dengan ibukota Medang Pangramesan
· Galuh Kalangon berlokasi di Roban beribukota Medang Pangramesan
· Galuh Lalean berlokasi di Cilacap beribukota di Medang Kamulan
· Galuh Pataruman berlokasi di Banjarsari beribukota Banjar Pataruman
· Galuh Kalingga berlokasi di Bojong beribukota Karangkamulyan
· Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung beribukota Bagolo
Dari segi budaya orang Sunda dikenal sebagai orang gunung karena banyak menetap di kaki gunung dan orang Galuh sebagai orang air. Dari faktor inilah secara turun temurun dongeng Sakadang Monyet jeung Sakadang Kuya disampaikan. Hingga pemerintahan Ragasuci (1297M–1303M) gejala ibukota mulai bergeser ke arah timur ke Saunggalah hingga sering disebut Kawali (kuali tempat air). Ragasuci sebenarnya bukan putra mahkota. Raja sebelumnya, yaitu Jayadarma, beristrikan Dyah Singamurti dari Jawa Timur dan memiliki putra mahkota Sanggramawijaya, lebih dikenal sebagai Raden Wijaya, lahir di Pakuan. Jayadarma kemudian wafat tapi istrinya dan Raden Wijaya tidak ingin tinggal di Pakuan, kembali ke Jawa Timur.
Kelak Raden Wijaya mendirikan Majapahit yang besar, hingga jaman Hayam Wuruk dan Gajah Mada mempersatukan seluruh nusantara, kecuali kerajaan Sunda yang saat itu dipimpin Linggabuana, yang gugur bersama anak gadisnya Dyah Pitaloka Citraresmi pada perang Bubat tahun 1357M. Sejak peristiwa Bubat, kerabat keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit.
Sunda-Galuh kemudian dipimpin oleh Niskala Wastukancana, turun temurun hingga beberapa puluh tahun kemudian Kerajaan Sunda mengalami keemasan pada masa Sri Baduga Maharaja, Sunda-Galuh dalam prasasti disebut sebagai Pajajaran dan Sri Baduga disebut oleh rakyat sebagai Siliwangi, dan kembali ibukota pindah ke barat.
Raja-raja Kerajaan Sunda
Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah Pageran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Maehi):
1. Tarusbawa (minantu Linggawarman, 669-723)
2. Harisdarma, atawa Sanjaya(menantu Tarusbawa, 723 - 732)
3. Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
4. Rakeyan Banga (739 - 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
10. Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
13. Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
15. Munding Ganawirya (964 - 973)
16. Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
17. Brajawisésa (989 - 1012)
18. Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
19. Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)
22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)
25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)
27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)
28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
32. Prabu Bunisora (1357-1371)
33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)
35. Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
38. Prabu Sakti (1543-1551)
39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
Pada Saat terjadinya perang bubat yang berakibat gugurnya Parabu Linggabuanan, putra mahkota yang bernama Niskala Wastu Kancana waktu itu masih kecil. Oleh karena itu kerajaan dipegang Hyang Bunisora beberapa waktu sebelum akhirnya diserahkan kepada Niskala Wastu Kancana ketika sudah dewasa. Keterangan mengenai Niskala Wastu Kancana, dapat diperjelas dengan bukti berupa Prasasti Kawali dan Prasasti Batutulis serta Kebantenan.
Nama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397M untuk menyebut ibukota kerajaan yang didirikannya, Tarumanagara. Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13 ingin mengembalikan keharuman Tarumanagara yang semakin menurun di purasaba (ibukota) Sundapura. Pada tahun 670M ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda (selanjutnya punya nama lain yang menunjukkan wilayah/pemerintahan yang sama seperti Galuh, Kawali, Pakuan atau Pajajaran). Karajaan Sunda (669-1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara.
Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik yang menceriterakan perjalanan Prabu Bujangga Manik, seorang pendeta Hindhu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16, yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627.
Batas kerajaan Sunda di sebelah timur adalah sungai Cipamali yang saat ini sering disebut sebagai kali Brebes dan sungai Ciserayu yang saat ini disebut Kali Serayu di Provinsi Jawa Tengah.
Sumber yang menerangkan mengenai kerajaan ini yaitu sebuah prasasti di Jakarta, sebuah prasasti di Kota Kapur Bangka, dan sebuah prasasti di Banten, serta 5 prasasti yang terdapat di Bogor. Sedangkan sumber lain telah ditemukan yaitu dua buah arca di Cibuaya merupakan pelengkap bukti cerita Kerajaan Tarumanegara. Ketika Tarumanegara mengalami kemunduran, di tanah Sunda berdiri beberapa kerajaan, diantaranya Kuningan, Galuh, dan Sunda.Kerajaan-kerajaan tersebut bergabung, dan disebut kerajaan Sunda.
Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan Kerajaan Sriwijaya.
Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri. dari pihak Tarumanagara sendiri, Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara. Tarusbawa selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda dan mendirikan Kerajaan Sunda , Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Sukiapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 16 Mei 669 M). Batas kerajaan Sunda dan Galuh dipisahkan oleh Sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).
Berdirinya Kerajaan Sunda serta “merdekanya” Kerajaan Galuh, sekaligus pula merupakan pertanda berakhirnya era kekuasaan Kerajaan Tarumanegara. Berbeda dengan Kerajaan Galuh, Kerajaan Sunda pada masa awal berdirinya sama sekali tidak pernah mengalami masa-masa perwalian Kerajaan Tarumanegara.
Dengan demikian, sewaktu didirikan tahun 670 oleh Tarusbawa, Kerajaan Sunda langsung tampil sebagai kerajaan yang merdeka.Sepanjang eksistensinya selama kurang lebih 909 tahun (670 M – 1579 M),
Kerajaan Sunda pernah mengalami tiga kali integrasi politik dengan Kerajaan Galuh.
· Integrasi politik pertama berlangsung dari tahun 723 M sampai 739 M, dengan tokoh pemersatunya, Sanjaya Harisdharma, yang sekaligus menjadi raja pertama yang memerintah kerajaan produk integrasi, Sunda-Galuh. Di samping Sanjaya, raja lain yang pernah memerintah dalam masa integrasi pertama ini adalah Rakeyan Tamperan. Belum dapat diketahui dengan jelas kapan integrasi politik pertama ini berakhir atau kapan kedua kerajaan ini saling memisahkan diri kembali.
· Integrasi politik kedua berlangsung dalam era pemerintahan Rakeyan Wuwus (819-891 M), tepatnya tahun 852 M. Integrasi ini disebabkan karena raja Galuh (Prabu Linggabumi) tidak memiliki keturunan. Oleh karena itu, tahtanya diserahkan kepada Rakeyan Wuwus setelah sebelumnya Rakeyan Wuwus menikahi adik Prabu Linggabumi. Namun demikian, sebagaimana halnya saat integrasi politik pertama, integrasi politik kedua yang kemudian diperkuat lagi oleh adanya perkawinan politis lainnya antara adik Rakeyan Wuwus dengan Prabu Darmaraksabuana (pengganti Rakeyan Wuwus), juga belum memiliki kejelasan data lebih lanjut, khususnya mengenai masa akhir integrasi politik.
· Integrasi politik ketiga berlangsung dari tahun 1482 M sampai 1579 M, dengan tokoh pemersatunya, Sri Baduga Maharaja. Dalam masa integrasi politik ketiga ini, di samping Sri Baduga Maharaja masih ada lima raja lainnya yang pernah memerintah, yakni, Sang Prabu Surawisesa (1521-1535 M), Sang Prabu Dewatabuwana (1535 – 1543 M), Sang Prabu Ratu (1543 – 1551), Sang Prabu Nilakendra (1551 – 1567 M), dan raja terakhir Sang Ratu Ragamulya atau Prabu Surya Kancana (1567 – 1579). Enam raja yang berkuasa dalam masa integrasi politik ketiga ini sekaligus pula menjadi bagian dari 40 orang raja yang pernah memerintah Kerajaan Sunda.
Kerajaan Sunda sebagai sebuah kerajaan “besar” juga memiliki kerajaan-kerajaan kecil atau kerajaan daerah yang berkedudukan sebagai kerajaan bawahan. Kerajaan-kerajaan kecil yang pernah eksis dan menjadi bawahan Kerajaan Sunda di antaranya adalah, Kerajaan Talaga, Saunggaluh, Cirebon Girang, dan Kerajaan Tanjung Barat. Kerajaan Sunda juga telah memiliki suatu struktur pemerintahan yang relatif telah teratur. Gambaran mengenai struktur pemerintahan Kerajaan Sunda ini setidaknya terbagi dalam dua versi.
· Pertama, versi Tomi Pires. Kedua, versi naskah Sanghyang Sikakanda Ng Karesian. Menurut Tomi Pires, di samping raja yang memerintah di pusat kerajaan, di daerah-daerah juga berkuasa raja-raja atas wilayah yang lebih kecil. Raja-raja daerah ini dapat menjadi raja pusat apabila pada suatu waktu raja pusat tidak memiliki keturunan.
Di luar raja pusat dan raja-raja daerah, terdapat pula enam orang syahbandar sebagi wakil raja (pusat) di enam pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda, yaitu, Banten, Pontang, Cegede, Tamgara, Kalapa, dan Cimanuk.
· Berbeda dengan Pires, naskah Sanghyang Siksakanda Ng Karesian relatif lebih lengkap memberikan gambaran tentang struktur pemerintahan Kerajaan Sunda. Di samping raja, struktur pemerintahan Kerajaan Sunda juga dilengkapi oleh jabatan-jabatan seperti mangkubumi, nunangganan, mantri, dan wado pada struktur paling bawah.
Dari kedua sumber tersebut, dapatlah kiranya disusun sebuah struktur pemerintahan Kerajaan Sunda yang relatif lengkap. Di tingkat pusat, kekuasaan tertinggi dipegang oleh raja. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, ia dibantu oleh seorang mangkubumi yang membawahi beberapa orang nunangganan. Selanjutnya, nunangganan sendiri membawahi beberapa orang mantri dan akhirnya untuk membantu kerja para mantri, mereka (para mantri) membawahi pula wado-wado. Di luar itu, terdapat pula putra mahkota yang akan menggantikan kedudukan raja jika raja meninggal dunia atau mengundurkan diri. Untuk mengurus daerah-daerah yang luas, raja dibantu oleh beberapa orang raja daerah. Dalam keadaan raja tidak meninggalkan pewaris tahta, maka salah seorang raja daerah dapat diangkat untuk menggantikan kedudukan raja (pusat) sebagai raja terbesar dan bertahta di ibukota kerajaan.
Menurut sejarawan W.J Van der Meulen, Pusat Asli Daerah (kerajaan) Galuh, yaitu disekitar Kawali (Kabupaten Ciamis sekarang). Selanjutnya W.J Van der Meulen berpendapat bahwa kata "galuh", berasal dari kata "sakaloh" berarti "dari sungai asalnya", dan dalam lidah Banyumas menjadi "segaluh". Dalam Bahasa Sansekerta, kata "galu" menunjukkan sejenis permata, dan juga biasa dipergunakan untuk menyebut puteri raja (yang sedang memerintah) dan belum menikah. Galuh Kumara berlokasi di Tegal beribukota di Medangkamulyan Tarusbawa bersahabat baik dengan raja Galuh Bratasenawa atau Sena. Purbasora –yang termasuk cucu pendiri Galuh– melancarkan perebutan tahta Galuh di tahun 716M karena merasa lebih berhak naik tahta daripada Sena. Sena melarikan diri ke Kalingga (istri Sena; Sanaha, adalah cucu Maharani Sima ratu Kalingga). Sanjaya, anak Sena, ingin menuntut balas kepada Purbasora.
Sanjaya mendapat mandat memimpin Kerajaan Sunda karena ia adalah menantu Tarusbawa. Galuh yang dipimpin Purbasora diserang habis-habisan hingga yang selamat hanya satu senapati kerajaan, yaitu Balangantrang. Sanjaya yang hanya berniat balas dendam terpaksa harus naik tahta juga sebagai Raja Galuh, sebagai Raja Sunda ia pun harus berada di Sundapura.
Sunda-Galuh disatukan kembali hingga akhirnya Galuh diserahkan kepada tangan kanannya yaitu Premana Dikusuma yang beristri Naganingrum yang memiliki anak bernama Surotama alias Manarah.
Premana Dikusuma adalah cucu Purbasora, harus tunduk kepada Sanjaya yang membunuh kakeknya, tapi juga hormat karena Sanjaya disegani, bahkan disebut rajaresi karena nilai keagamaannya yang kuat dan memiliki sifat seperti Purnawarman. Premana menikah dengan Dewi Pangreyep –keluarga kerajaan Sunda– sebagai ikatan politik.
Di tahun 732M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Medang dari orang tuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara putranya, Tamperan dan Resiguru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resiguru Demunawan. Premana akhirnya lebih sering bertapa dan urusan kerajaan dipegang oleh Tamperan yang merupakan ‘mata dan telinga’ bagi Sanjaya. Tamperan terlibat skandal dengan Pangreyep hingga lahirlah Banga (dalam cerita rakyat disebut Hariangbanga). Tamperan menyuruh pembunuh bayaran membunuh Premana yang bertapa yang akhirnya pembunuh itu dibunuh juga, tapi semuanya tercium oleh Balangantrang.
Balangantrang dengan Manarah merencanakan balas dendam. Dalam cerita rakyat Manarah dikenal sebagai Ciung Wanara. Bersama pasukan Geger Sunten yang dibangun di wilayah Kuningan Manarah menyerang Galuh dalam semalam, semua ditawan kecuali Banga dibebaskan. Namun kemudian Banga membebaskan kedua orang tuanya hingga terjadi pertempuran yang mengakibatkan Tamperan dan Pangreyep tewas serta Banga kalah menyerah.
Perang saudara tersebut terdengar oleh Sanjaya yang memimpin Medang atas titah ayahnya. Sanjaya kemudian menyerang Manarah tapi Manarah sudah bersiap-siap, perang terjadi lagi namun dilerai oleh Demunawan, dan akhirnya disepakati Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga.
Konflik terus terjadi, kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu belum dapat diterima secara umum, sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh. Karena konflik tersebut, tiap Raja Sunda yang baru selalu memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat pemerintahan. Dengan demikian, pusat pemerintahan itu berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya. Antara tahun 895M sampai tahun 1311M kawasan Jawa Barat diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-iringan rombongan raja baru yang pindah tempat. Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, Summa Oriental (1513 – 1515), menyebutkan batas wilayah kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai berikut:
Sementara orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa kerajaan Sunda mencakup sepertiga pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Katanya, keliling pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Cimanuk. Sedangkan menurut naskah Wangsakerta, wilayah kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antar keluarga kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.
Menurut sejarah kota Ciamis pembagian wilayah Sunda-Galuh adalah sebagai berikut:
· Pajajaran berlokasi di Bogor beribukota Pakuan
· Galuh Pakuan beribukota di Kawali
· Galuh Sindula yang berlokasi di Lakbok dan beribukota Medang Gili
· Galuh Rahyang berlokasi di Brebes dengan ibukota Medang Pangramesan
· Galuh Kalangon berlokasi di Roban beribukota Medang Pangramesan
· Galuh Lalean berlokasi di Cilacap beribukota di Medang Kamulan
· Galuh Pataruman berlokasi di Banjarsari beribukota Banjar Pataruman
· Galuh Kalingga berlokasi di Bojong beribukota Karangkamulyan
· Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung beribukota Bagolo
Dari segi budaya orang Sunda dikenal sebagai orang gunung karena banyak menetap di kaki gunung dan orang Galuh sebagai orang air. Dari faktor inilah secara turun temurun dongeng Sakadang Monyet jeung Sakadang Kuya disampaikan. Hingga pemerintahan Ragasuci (1297M–1303M) gejala ibukota mulai bergeser ke arah timur ke Saunggalah hingga sering disebut Kawali (kuali tempat air). Ragasuci sebenarnya bukan putra mahkota. Raja sebelumnya, yaitu Jayadarma, beristrikan Dyah Singamurti dari Jawa Timur dan memiliki putra mahkota Sanggramawijaya, lebih dikenal sebagai Raden Wijaya, lahir di Pakuan. Jayadarma kemudian wafat tapi istrinya dan Raden Wijaya tidak ingin tinggal di Pakuan, kembali ke Jawa Timur.
Kelak Raden Wijaya mendirikan Majapahit yang besar, hingga jaman Hayam Wuruk dan Gajah Mada mempersatukan seluruh nusantara, kecuali kerajaan Sunda yang saat itu dipimpin Linggabuana, yang gugur bersama anak gadisnya Dyah Pitaloka Citraresmi pada perang Bubat tahun 1357M. Sejak peristiwa Bubat, kerabat keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit.
Sunda-Galuh kemudian dipimpin oleh Niskala Wastukancana, turun temurun hingga beberapa puluh tahun kemudian Kerajaan Sunda mengalami keemasan pada masa Sri Baduga Maharaja, Sunda-Galuh dalam prasasti disebut sebagai Pajajaran dan Sri Baduga disebut oleh rakyat sebagai Siliwangi, dan kembali ibukota pindah ke barat.
Raja-raja Kerajaan Sunda
Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah Pageran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Maehi):
1. Tarusbawa (minantu Linggawarman, 669-723)
2. Harisdarma, atawa Sanjaya(menantu Tarusbawa, 723 - 732)
3. Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
4. Rakeyan Banga (739 - 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
10. Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
13. Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
15. Munding Ganawirya (964 - 973)
16. Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
17. Brajawisésa (989 - 1012)
18. Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
19. Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)
22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)
25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)
27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)
28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
32. Prabu Bunisora (1357-1371)
33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)
35. Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
38. Prabu Sakti (1543-1551)
39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
Pada Saat terjadinya perang bubat yang berakibat gugurnya Parabu Linggabuanan, putra mahkota yang bernama Niskala Wastu Kancana waktu itu masih kecil. Oleh karena itu kerajaan dipegang Hyang Bunisora beberapa waktu sebelum akhirnya diserahkan kepada Niskala Wastu Kancana ketika sudah dewasa. Keterangan mengenai Niskala Wastu Kancana, dapat diperjelas dengan bukti berupa Prasasti Kawali dan Prasasti Batutulis serta Kebantenan.
0 Response to "KERAJAAN SUNDA GALUH"
Posting Komentar