Istana Pagaruyung
Kerajaan Pagaruyung adalah sebuah Kerajaan yang pernah berdiri, meliputi provinsi Sumatra Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan ini berasal dari ibukotanya, yang berada di nagari Pagaruyung. Kerajaan ini didirikan oleh Adityawarman pada tahun 1347. Pagaruyung menjadi Kesultanan Islam sekitar tahun 1600-an. Kerajaan ini runtuh pada masa Perang Padri.
Pengaruh Hindu di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-13 dan ke-14, yaitu pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara, dan pada masa pemerintahan Adityawarman dan putranya Anaggawarman. Kekuasaan mereka diperkirakan cukup kuat mendominasi Pagaruyung dan wilayah Sumatera bagian tengah lainnya. Pada prasasti di arca Amoghapasa bertarikh tahun 1347 Masehi (Sastri 1949) yang ditemukan di Padang Roco, hulu sungai Batang Hari, terdapat puji-pujian kepada raja Sri Udayadityavarma, yang sangat mungkin adalah Adityawarman
Wilayah kekuasaan Kerajaan Pagaruyung
Wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung adalah wilayah tempat hidup, tumbuh, dan berkembangnya kebudayaan Minangkabau. Wilayah ini dapat dilacak dari pernyataan tambo (legenda adat) berbahasa Minang ini:
Dari Sikilang Aia Bangih
Hingga Taratak Aia Hitam
Dari Durian Ditakuak Rajo
Hingga Sialang Balantak Basi
Cap Sultan Alam Bagagarsyah, raja terakhir Pagaruyung
Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam Konfederasi, yang merupakan lembaga musyawarah dari berbagai Nagari dan Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, Kerajaan Pagaruyung merupakan semacam perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat (Suku Minang).
Istana Pagaruyung
Adityawarman pada awalnya bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit dan menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, seperti Kuntu dan Kampar yang merupakan penghasil lada. Namun dari berita Tiongkok diketahui Pagaruyung mengirim utusan ke Tiongkok seperempat abad kemudian. Agaknya keturunan Adityawarman berusaha melepaskan diri dari Majapahit.
Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Jawa di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara Jawa berhasil dikalahkan.
Sikilang Aia Bangih adalah batas utara, sekarang di daerah Pasaman Barat, berbatasan dengan Natal, Sumatra Utara. Taratak Aia Hitam adalah daerah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo adalah wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang Balantak Basi adalah wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang.
2. Kerajaan Bedahulu (Bali)
Kerajaan Bedahulu atau Bedulu adalah kerajaan kuno di pulau Bali pada abad ke-8 sampai abad ke-14, yang memiliki pusat kerajaan di sekitar Pejeng atau Bedulu, Kabupaten Gianyar, Bali. Diperkirakan kerajaan ini diperintah oleh raja-raja keturunan Dinasti Warmadewa masih ada hubungan dengan Prabu Erlangga. Penguasa terakhir kerajaan Bedulu (Dalem Bedahulu) menentang ekspansi Kerajaan Majapahit pada tahun 1343 yang dipimpin oleh Gajah Mada, sehingga akhirnya pecah perang yang berakhir dengan kekalahan Bedahulu. Perlawanan Bedahulu kemudian benar-benar padam setelah pemberontakan keturunan terakhirnya (Dalem Makambika) berhasil dikalahkan tahun 1347.
Setelah itu Gajah Mada menempatkan seorang keturunan brahmana dari Jawa bernama Sri Kresna Kepakisan sebagai raja (Dalem) di pulau Bali. Keturunan Dinasti Kepakisan inilah yang di kemudian hari menjadi raja-raja di beberapa kerajaan kecil di Pulau Bali.
Raja-raja Bedahulu
1. Sri Kesari Warmadewa - (882-913)
2. Sri Ugrasena - (915-939)
3. Agni
4. Tabanendra Warmadewa
5. Candrabhaya Singa Warmadewa - (960-975)
6. Janasadhu Warmadewa
7. Sri Wijayamahadewi
8. Dharmodayana Warmadewa (Udayana) - (988-1011)
9. Gunapriya Dharmapatni (bersama Udayana) - (989-1001)
10. Sri Ajnadewi
11. Sri Marakata - (1022-1025)
12. Anak Wungsu - (1049-1077)
13. Dalem Madura
14. Sri Maharaja Sri Walaprabu - (1079-1088)
15. Sri Maharaja Sri Sakalendukirana - (1088-1098)
16. Sri Suradhipa - (1115-1119)
17. Sri Jayasakti - (1133-1150)
18. Ragajaya
19. Sri Maharaja Aji Jayapangus - (1178-1181)
20. Arjayadengjayaketana
21. Aji Ekajayalancana
22. Bhatara Guru Sri Adikuntiketana
23. Parameswara
24. Adidewalancana
25. Mahaguru Dharmottungga Warmadewa
26. Walajayakertaningrat (Sri Masula Masuli atau Dalem Buncing?)
27. Sri Astasura Ratna Bumi Banten (Dalem Bedahulu) - (1332-1343)
28. Dalem Tokawa (1343-1345)
29. Dalem Makambika (1345-1347) Setelah pemerintahan raja Sri Mahaguru tahun 1324-1328 M. Maka pemerintahan dipegang oleh Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten yang disebut dalam prasasti Patapan Langgahan tahunv1337 M. Selain itu ada pula sebuah patung yang disimpan di Pura Tegeh Koripan termasuk Desa Kintamani. Pada bagian belakang patung itu ada tulisan yang sangat rusak keadaannya. Baginda mengangkat seorang mangkubumi yang gagah perkasa bernama Ki Pasunggrigis, yang tinggal di desa Tengkulak dekat istana Bedahulu di mana raja Astasura bersemayam. Sebagai pembantunya diangkat Ki Kebo Iwa alias Kebo Taruna yang tinggal di Desa Belahbatuh. Para menterinya di sebutkan sebagai berikut : · Krian Girikmana tinggal di Desa Loring Giri (Buleleng)· Krian Tambiak tinggal di Desa Jimbaran· Krian Tunjung Tutur tinggal di desa Tenganan.· Krian Buahan tinggal di desa Batur· Krian Tunjung Biru di desa Gianyar· Krian Kopang tinggal di desa Seraya · Krian Walungsari tinggal di desa Taro.
Pasung Grigis Mahapatih Bedahulu
Pasung Grigis adalah mahapatih andalan kerajaan Bali pada masa pemerintahan Sri Astha Sura Ratna Bumi Banten pada abad ke-14. Ahli strategi militer yang bertempat tinggal di desa Tengkulak ini adalah mentor dari mahapatih Kebo Iwa.
Setelah kematian Kebo Iwa akibat tipu muslihat mahapatih Gajah Mada, Pasung Grigis memimipin perlawanan kerajaan Bali melawan ekspedisi militer Majapahit pada tahun 1343. Dalam perang yang berlangung sengit itu, panglima berpusaka keris Ki Padang Lembu ini kemudian tertawan dan akibatnya perlawanan rakyat Bali kemudian melemah dan akhirnya berakhir untuk sementara.
Pasung Grigis kemudian memutuskan untuk ikut bergabung dalam pemerintahan kerajaan vasal Bali bentukan Majapahit. Sebagai tanda kesetiaan ia diperintahkan memimpin pasukan Majapahit untuk memadamkan pemberontakan kerajaan Sumbawa yang dipimpin Raja Dedela Nata. Sumbawa berhasil ditaklukkan namun baik Pasung Grigis maupun Dedela Nata gugur, mati sampyuh, dalam sebuah duel. Kebo Iwa patih Kerajaan Bedahulu Kebo Iwa adalah salah seorang panglima militer Bali pada masa pemerintahan Prabu Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten pada awal abad ke-14. Nama lain dari Kebo Iwa adalah Kebo Wandira atau Kebo Taruna yang bermakna kerbau yang perjaka. Pada masa itu nama-nama binatang tertentu seperti kebo (kerbau), gajah, mahisa (banteng), banyak (angsa) lazim dipakai sebagai titel kehormatan khususnya di Bali ataupun Jawa. Panglima muda yang bertempat tinggal di desa Blahbatuh dan anak dari Panglima Rakyan Buncing ini sering digambarkan sebagai pemuda bertubuh tinggi besar yang mengusai seni perang selain ilmu arsitektur. Undagi (arsitek tradisonal Bali) ini membangun berbagai tempat ibadah di Bali dan tak segan-segan mengangkut sendiri batu-batu besar dengan kekuatan fisiknya. Mahapatih Majapahit, Gajah Mada, memandang Kebo Iwa dan Pasung Grigis, panglima Bali yang lebih senior dan ahli strategi militer, sebagai batu sandungan politik ekspansionisnya. Jalan yang ditempuh dengan tipu muslihat yaitu raja putri Tribhuwana Tunggadewi mengutus Gajah Mada ke Bali dengan membawa surat yang isinya seakan-akan raja putri menginginkan persahabatan dengan raja Bedahulu dan mengundang Kebo Iwa untuk datang ke Majapahit untuk dinikahkan dengan seorang putri dari Lemah Tulis sebagai tanda persahabatan antar kedua negara. Ketika Kebo Iwa tengah menggali sumur besar atas permintaan calon istrinya, pasukan Majapahit melemparinya dan menimbun sumur dengan batu. Di sinilah Kebo Iwa sadar bahwa kehadirannya di Majapahit memang untuk dibunuh. Di hadapan Gajah Mada ia berkata bahwa ia rela mati bukan karena kalah melawan Gajah Mada melainkan demi persatuan Nusantara. Gugurnya Kebo Iwa mempermudah ekspedisi penaklukan Bali yang dipimpin Adityawarman, panglima berdarah Singhasari-Dharmasraya, pada tahun 1343. Setelah mengetahui Kebo Iwa telah tewas terbunuh maka Prabu Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten memerintahkan Amangkubhumi Pasanggrigis menggantikan Kebo Iwa mengorganisir pasukannya untuk menghadapi serbuan tentara Majapahit Dalam rapat tersebut seluruh hadirin sepakat mempertahankan Bali dan tidak mau tunduk kepada Majapahit. Gajah Mada kemudian mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyerang Bali. Ekspedisi Gajah Mada ke Bali pada tahun 1334 dengan Candrasangkala Caka isu rasaksi nabhi (anak panah, rasa, mata pusat). Pasukan Majapahit dipimpin oleh Gajah Mada sendiri bersama panglima Arya Damar dibantu oleh beberapa Arya. Setelah sampai di pantai Banyuwangi, tentara Majapahit berhenti sebentar untuk mengatur siasat peperangan.
Penyerangan ini mengakibatkan terjadinya pertempuran antara pasukan Gajah Mada dengan kerajaan Bedahulu. Setelah Pasung Grigis menyerah terjadi kekosongan pemerintahan di Bali. Untuk itu, Majapahit menunjuk Sri Kresna Kepakisan untuk memimpin pemerintahan di Bali dengan pertimbangan bahwa Sri Kresna Kepakisan memiliki hubungan darah dengan penduduk Bali Aga.
Silsilah Sri Kresna Kepakisan
Tersebutlah Di Jawa ada pendeta maha sakti bernama Danghyang Bajrasatwa. Mempunyai 1 orang putra bernama Danghyang Tanuhun atau Mpu Lampita, beliau adalah pendeta Budha, memiliki kepandaian luar biasa serta bijaksana dan mahasakti seperti ayahnya Danghyang Bajrasatwa. Ida Danghyang Tanuhun berputra lima orang, dikenal dengan sebutan Panca Tirtha. Beliau Sang Panca Tirtha sangat terkenal keutamaan beliau semuanya.
1. Mpu Gnijaya. Beliau membuat pasraman di Gunung Lempuyang Madya, Bali Timur, datang di Bali pada tahun Isaka 971 atau tahun Masehi 1049. Beliaulah yang menurunkan Sang Sapta Resi - tujuh pendeta yang kemudian menurunkan keluarga besar Pasek di Bali
2. Mpu Semeru, membangun pasraman di Besakih, turun ke Bali tahun Isaka 921, tahun Masehi 999. Beliau mengangkat putra yakni Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah yang kemudian menurunkan keluarga Pasek Kayuselem.
3. Mpu Ghana, membangun pasraman di Dasar Gelgel Klungkung, datang di Bali pada tahun Isaka 922 atau tahun Masehi 1000.
4. Ida Empu Kuturan atau Mpu Rajakretha, datang di Bali tahun Isaka 923 atau tahun Masehi 1001, membangun pasraman di Silayukti, Teluk Padang atau Padangbai, Karangasem.
5. Ida Mpu Bharadah atau Mpu Pradah, menjadi pendeta kerajaan Prabu Airlangga di Kediri, Daha, Jawa Timur, berdiam di Lemah Tulis, Pajarakan, sekitar tahun Masehi 1000.
Mpu Kuturan demikian tersohornya di kawasan Bali, dikenal sebagai Pendeta pendamping Maharaja Sri Dharma Udayana Warmadewa, serta dikenal sebagai perancang pertemuan tiga sekte agama Hindu di Bali, yang disatukan di Samuan Tiga , Gianyar. Beliau pula yang merancang keberadaan desa pakraman - desa adat serta Kahyangan Tiga - tiga pura desa di Bali, yang sampai kini diwarisi masyarakat. Demikian banyaknya pura sebagai sthana Bhatara dibangun di Bali semasa beliau menjabat pendeta negara, termasuk Sad Kahyangan serta Kahyangan Jagat dan Dhang Kahyangan di kawasan Bali ini. Nama beliau tercantum di dalam berbagai prasasti dan lontar yang memuat tentang pura, upacara dan upakara atau sesajen serta Asta Kosala - kosali yang memuat tata cara membangun bangunan di Bali. Tercantum dalam lempengan prasasti seperti ini
"Ida sane ngawentenang pawarah - warah silakramaning bwana rwa nista madhya utama. lwirnya ngawangun kahyangan, mahayu palinggih Bhatara - Bhatari ring Bali lwirnya Puseh desa Walyagung Ulunswi Dalem sopana hana tata krama maring Bali, ayun sapara Bhatara lumingga maring Sad Kahyangan, neher sira umike sila krama" yang artinya: Beliau Mpu Kuturan yang mengadakan aturan tentang tatacara di dunia ini yang berhubungan dengan mikro dan makrokosmos dalam tingkat nista madya utama (sederhana, menengah dan utama), seperti membangun pura kahyangan, menyelenggarakan upacara sthana Bhatara-bhatari di Bali. Seperti Pura Puseh Desa, Baleagung, Ulunswi, Dalem, dan karena ada tata cara di Bali seperti itu berkenanlah para Bhatara bersthana di Sad Kahyangan, karena beliau yang mengadakan tata aturan tersebut.
Adiknya bernama Danghyang Mpu Bharadah mempunyai putra Iaki-laki dan keutamaan yoga beliau bernama Mpu Bahula. Bahula berarti utama. Kepandaian dan kesaktian beliau di dunia sama dengan ayahandanya Mpu Bharadah. Beliau memperistri putri dari Rangdeng Jirah - janda di Jirah atau Girah yang bernama Ni Dyah Ratna Manggali. Kisah ini terkenal dalam ceritera Calonarang. Empu Bahula berputra Iaki bernama Mpu Tantular, yang sangat pandai di dalam berbagai ilmu filsafat. Tidak ada menyamai dalam soal kependetaan, sama keutamaannya dengan Mpu Bahula, ayahandanya. Mpu Tantular adalah yang dikenal sebagai penyusun Kakawin Sutasoma di mana di dalamnya tercantum "Bhinneka Tunggal lka" yang menjadi semboyan negara Indonesia. Beliau juga bergelar Danghyang Angsokanata. Keberadaan beliau di Bali diperkirakan sejaman dengan pemerintahan raja Bali, Sri Haji Wungsu pada tahun Masehi 1049.
Ida Mpu Tantular atau Danghyang Angsokanata, berputra empat orang semuanya Iaki-laki.
1. Mpu Danghyang Panawasikan
2. Mpu Bekung atau Danghyang Siddhimantra
3. Mpu Danghyang Smaranatha
4. Mpu Danghyang Soma Kapakisan.
Danghyang Soma Kapakisan, yang menjadi guru dari Mahapatih Gajahmada di Majapahit Ida Danghyang Panawasikan memiliki putri seorang, demikian cantiknya, diperistri oleh Danghyang Nirartha.
Ida Danghyang Smaranatha, memiliki dua orang putra,
1. Danghyang Angsoka, berdiam di Jawa melaksanakan paham Budha Danghyang Angsoka berputra Danghyang Astapaka, yang membangun pasraman di Taman Sari, yang kemudian menurunkan Brahmana Budha di Pulau Bali.
2. Danghyang Nirartha, atau Danghyang Dwijendra, Peranda Sakti Wawu Rawuh dan dikenal juga dengan sebutan Tuan Semeru. Beliau melaksanakan paham Siwa, serta menurunkan keluarga besar Brahmana Siwa di Bali yakni, Ida Kemenuh, Ida Manuaba, Ida Keniten, Ida Mas serta Ida Patapan.
Ida Danghyang Soma Kapakisan yang berdiam di kawasan kerajaan Majapahit. berputra Ida Kresna Wang Bang Kapakisan, ketika Sri Maharaja Kala Gemet memegang kekuasaan di Majapahit. Ida Kresna Wang Bang Kapakisan mempunyai putra empat orang, semuanya diberi kekuasaan oleh Raja Majapahit, yakni beliau yang sulung menjadi raja di Blambangan, adiknya di Pasuruhan, yang wanita di Sumbawa. dan yang paling bungsu di kawasan Bali. Yang menjadi raja di Bali bernama Dalem Ketut Kresna Kapakisan menurunkan para raja yang bergelar Dalem keturunan Kresna Kepakisan di Bali.
Dalem Ketut Kresna Kepakisan datang di Bali dan beristana di Samprangan, didampingi oleh l Gusti Nyuh Aya di Nyuh Aya sebagai mahapatih Dalem. Dalam pemerintahannya Kresna Kepakisan didampingi para arya dan mengambil tempat masing-masing.
1. Arya Kanuruhan di Tangkas
2. Arya Wangbang di Sukahet
3. Arya Demung di kertalangu
4. Arya Kepakisan
5. Arya Temenggung di Petemon
6. Arya Kenceng di Tabanan
7. Arya Dalancang di Kapal
8. Arya Belog di Kaba Kaba
9. Arya Manguri
10. Arya Pangalasan
11. Arya Kutawaringin di Klungkung
12. Arya Gajah Para di Toya Anyar
13. Arya Getas di Toya Anyar
14. Arya Belentong di Pacung
15. Arya Sentong di Carangsari
16. Kriyan Punta di Mambal
17. Arya Jerudeh di Tamukti
18. Arya Melel Cengkrong di Jembrana
19. Arya Pamacekan di Bondalem
20. Sang Tri Wesya: Si Tan Kober di Pacung, Si Tan Kawur di Abiansemal
Si Tan Mundur di Cegaha
Demikian dikatakan di Babad Dalem.Sisa peninggalan Kerajaan Bedahulu
Kekawin Jawa dari abad ke-14, Nagarakertagama, memberikan beberapa bukti bagaimana kebudayaan Majapahit menyebar ke Bali. Pada abad ke-14, Bali adalah bagian dari Majapahit, meskipun kekuasaan hegemoni yang nyata masih belum jelas. Pada waktu itu penguasa-penguasa Bali secara teratur membawa sumbangan bulanan berupa hasil pajak produksi. Prasasti-prasasti Bali yang tertulis dalam bahasa Sansekerta dan bahasa Bali Kuno seperti halnya prasasti Blanjong, memberikan bukti dari tidak adanya pengaruh India di Bali sebelum abad ke-10.
Gunung Kawi Peninggalan Bedahulu
Pada waktu itu bahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi berubah dari bahasa Bali Kuno ke bahasa Jawa Kuno dan tulisan-tulisan Jawa mulai ditiru. Perubahan-perubahan ini menandai dominasi kebudayaan Jawa yang berlangsung berkenaan dengan perubahan-perubahan politik antara Jawa dan Bali. Babad dalem. Sebuah karya sejarah orang Bali yang berkenan dengan sejarah orang Bali dari abad ke-14 sampai abad ke-17 menyebutkan bahwa Gajah Mada yang pada waktu sebagai
Perdana Menteri Majapahit, mengangkat Danghyang Kepakisan sebagai adipati di Bali. Ini terjadi karena setelah kekalahan raja Bedahulu Dinasti baru yang dipusatkan pada Puri Kepakisan di Samprangan banyak mempengaruhi formasi dari kebudayaan Bali.
Dari Babad Dalem kita juga mengetahui bahwa raja Majapahit memberikan sejumlah lambang (simbol) kesetiaan untuk menghiasi puri sebagaimana halnya sebilah keris I Gaja-Dungkul dan sejumlah pakaian kebesaran kerajaan yang memberikan konsep kebudayaan yang memadukan kebudayaan Jawa dengan Bali, dan tanda-tanda kebesaran itu berfungsi sebagai symbol atau lambang kekuasaan yang sah. Namun demikian, Kresna Kepakisan menghadapi pemberontakan-pemberontakan dari desa-desa yang tidak mengakui status dari istana (puri). Tercatat desa-desa yang pernah melakukan perlawanan terhadap hegemoni Majapahit pada jaman Kresna Kepakisan antara lain : Batur, Songan, Culik, Cempaga, Kedisan, Abang, Pinggang, Munti, Tludu, Cintamani, Serahi, Manik Liuk, dan lain-lain. Untuk memecahkan persoalan ini, Gajah Mada memberikan nasehat kepada Kresna Kepakisan, serta simbul-simbul kekuasaan dalam bentuk pakaian kebesaran.
Pada akhir abad ke-17 suatu pemberontakan serius pecah di kerajaan Gelgel dan dalam tahun 1686-1687 istana yang utama pindah ke Klungkung. Pada waktu itu struktur kerajaan Gelgel merupakan struktur negara kesatuan yang terdesentralisasi, sedangkan struktur politik kerajaan Klungkung lebih mendekati federasi. Nama Badung menjadi terkenal dalam sejarah Bali pada waktu itu, ketika Jambepule, Raja Badung ikut pertempuran untuk menyerang penguasa di Gelgel. Pada waktu itu diduga Badung hanyalah desa kecil sebab Gelgel di percaya telah menjadi satu-satunya kerajaan di Bali.
Goa Lawah salah satu peninggalan Kerajaan Bedahulu
Perlawanan kerajaan Bedulu terhadap Majapahit oleh legenda masyarakat Bali dianggap melambangkan perlawanan penduduk Bali asli (Bali Aga) terhadap serangan Jawa (Wong Majapahit).
Beberapa tempat terpencil di Bali masih memelihara adat-istiadat Bali Aga, misalnya di Desa Trunyan, Kecamatan kintamani, Kabupaten Bangli; di Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem; serta di desa-desa Sembiran, Cempaga Sidatapa, Pedawa, Tiga Was, Padangbulia di Kabupaten Buleleng.
Beberapa obyek wisata yang dianggap merupakan peninggalan kerajaan Bedulu, antara lain adalah pura Jero Agung, Samuan Tiga, Goa Gajah, Pura Bukit Sinunggal.
Goa Gajah baru ditemukan kembali pada tahun 1923. Walaupun Lwa Gajah dan Bedahulu, yang sekarang menjadi Goa Gajah dan Bedahulu, telah disebutkan di dalam kitab Nagarakertagama ditulis pada tahun 1365 M. Pada tahun 1954, ditemukan kembali kolam petirtaan di depan Goa yang kemudian disusul dengan pemugaran dan pemasangan kembali area-area pancuran yang semula terletak di depan Goa dalam keadaan tidak lengkap. Kekunoan Pura Goa Gajah dapat dibagi menjadi dua bagian.
Pura Goa Gajah yang dikalangan penduduk setempat lebih dikenal dengan nama Pura Goa, terletak disebelah barat desa Bedahulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar, kira-kira 27 Km dari Denpasar. Suatu kunjungan ke Pura ini dapat dilakukan dengan mudah, karena letaknya hanya beberapa meter di bawah jalan raya menuju desa Tampaksiring. Sesungguhnya Pura ini dibangun di embah sungai Petanu, dengan panorama alam yang indah, disela-sela pohon-pohon nyiur dan sebuah sungai kecil bercampur dengan Sungai Petanu dibawahnya.
Bagian utara terdiri dari sebuah Goa Alam yang dipahat berbentuk huruf "T". Di dalam Goa ini terdapat sebuah arca Ganesa, yang dianggap sebagai Dewa Ilmu Pengetahuan, fragmen-fragmen arca dan sebuah trilangga yang dikelilingi oleh delapan buah lingga kecil-kecil. Pada bagian dinding Goa, terdapat ceruk-ceruk pertapaan dan bagian muka Goa, kecuali dihiasi dengan pahatan yang menggambarkan sebuah hutan belantara dengan isinya, juga dilengkapi dengan sebuah kepala kala memakai subang.
Di dinding Goa terdapat juga prasasti singkat yang berbunyi "Kumon" dan "sahywangsa", yang menurut tipe hurufnya diduga berasal dari abad 11 M. Di sebelah barat Goa, di dalam sebuah bangunan terdapat sebuah arca jongkok, Ganesa dan arca Men Brayut yang di dalam mitologi agama Budha dikenal sebagai Hariti, penyelamat anak-anak.
Di depan Goa, kecuali arca penjaga, terdapat juga fragmen-fragmen bangunan yang tidak diketahui asal usulnya, seperti fragmen-fragmen bangunan yang sekarang tidak dikumpulkan di halaman pura di sebelah barat kolam petirtaan.
Arca-arca pancuran yang sekarang telah berfungsi kembali di dalam kolam petirtaan yang dibagi menjadi tiga bagian, menurut gayanya diduga berasal dari abad 11 M. Sayang sekali arca pancuran yang terletak di kolam paling tengah, belum ditemukan hingga sekarang. Di sebelah kanan Goa, memang terdapat sebuah arca Pancuran Ganesa, tetapi ternyata tidak cocok dengan kolam yang paling tengah tadi.
Adapun bagian yang kedua dari Pura Goa Gajah ialah bagian sebelah Tenggara. Di sini terdapat dua buah arca Budha, yang sebuah tanpa kepala dan sebuah lagi masih cukup baik dengan gaya Jawa Tengah. Di sebelah utara arca ini, masih kelihatan melekat di tebing yaitu bagian kaki dari candi tebing yang bagian atasnya telah lama jatuh ke dalam sungai kecil. Di dalam sungai kecil ini terdapat relief stupa bercabang tiga, reruntuhan candi tebing dengan pahatan-pahatan yang indah. Di sebelah barat sungai kecil ini terdapat sebuah ceruk pertapaan.
Berdasarkan temuan kepurbakalaan tersebut di atas, dapat diketahui, bahwa Pura Goa Gajah berasal dari abad 9 dan 11 M. Yang dahulu kala berfungsi sebagai tempat pertapaan Bhiksu Buddha dan Pendeta Siwa. Kekunoan ini juga menunjukkan penyatuan ajaran agama Buddha dan Siwa berlangsung dengan baik.
Di seberang jalan raya di atas Pura Goa Gajah terdapat sebuah pura yang disebut pura Jempinis yang dalam ritual keagamaan masih mempunyai hubungan erat sekali denga Pura Goa Gajah. Di sini juga terdapat beberapa arca kuno dan fragmen - fragmen bangunan.
Kerajaan Pagaruyung adalah sebuah Kerajaan yang pernah berdiri, meliputi provinsi Sumatra Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan ini berasal dari ibukotanya, yang berada di nagari Pagaruyung. Kerajaan ini didirikan oleh Adityawarman pada tahun 1347. Pagaruyung menjadi Kesultanan Islam sekitar tahun 1600-an. Kerajaan ini runtuh pada masa Perang Padri.
Pengaruh Hindu di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-13 dan ke-14, yaitu pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara, dan pada masa pemerintahan Adityawarman dan putranya Anaggawarman. Kekuasaan mereka diperkirakan cukup kuat mendominasi Pagaruyung dan wilayah Sumatera bagian tengah lainnya. Pada prasasti di arca Amoghapasa bertarikh tahun 1347 Masehi (Sastri 1949) yang ditemukan di Padang Roco, hulu sungai Batang Hari, terdapat puji-pujian kepada raja Sri Udayadityavarma, yang sangat mungkin adalah Adityawarman
Wilayah kekuasaan Kerajaan Pagaruyung
Wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung adalah wilayah tempat hidup, tumbuh, dan berkembangnya kebudayaan Minangkabau. Wilayah ini dapat dilacak dari pernyataan tambo (legenda adat) berbahasa Minang ini:
Dari Sikilang Aia Bangih
Hingga Taratak Aia Hitam
Dari Durian Ditakuak Rajo
Hingga Sialang Balantak Basi
Cap Sultan Alam Bagagarsyah, raja terakhir Pagaruyung
Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam Konfederasi, yang merupakan lembaga musyawarah dari berbagai Nagari dan Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, Kerajaan Pagaruyung merupakan semacam perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat (Suku Minang).
Istana Pagaruyung
Adityawarman pada awalnya bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit dan menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, seperti Kuntu dan Kampar yang merupakan penghasil lada. Namun dari berita Tiongkok diketahui Pagaruyung mengirim utusan ke Tiongkok seperempat abad kemudian. Agaknya keturunan Adityawarman berusaha melepaskan diri dari Majapahit.
Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Jawa di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara Jawa berhasil dikalahkan.
Sikilang Aia Bangih adalah batas utara, sekarang di daerah Pasaman Barat, berbatasan dengan Natal, Sumatra Utara. Taratak Aia Hitam adalah daerah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo adalah wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang Balantak Basi adalah wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang.
2. Kerajaan Bedahulu (Bali)
Kerajaan Bedahulu atau Bedulu adalah kerajaan kuno di pulau Bali pada abad ke-8 sampai abad ke-14, yang memiliki pusat kerajaan di sekitar Pejeng atau Bedulu, Kabupaten Gianyar, Bali. Diperkirakan kerajaan ini diperintah oleh raja-raja keturunan Dinasti Warmadewa masih ada hubungan dengan Prabu Erlangga. Penguasa terakhir kerajaan Bedulu (Dalem Bedahulu) menentang ekspansi Kerajaan Majapahit pada tahun 1343 yang dipimpin oleh Gajah Mada, sehingga akhirnya pecah perang yang berakhir dengan kekalahan Bedahulu. Perlawanan Bedahulu kemudian benar-benar padam setelah pemberontakan keturunan terakhirnya (Dalem Makambika) berhasil dikalahkan tahun 1347.
Setelah itu Gajah Mada menempatkan seorang keturunan brahmana dari Jawa bernama Sri Kresna Kepakisan sebagai raja (Dalem) di pulau Bali. Keturunan Dinasti Kepakisan inilah yang di kemudian hari menjadi raja-raja di beberapa kerajaan kecil di Pulau Bali.
Raja-raja Bedahulu
1. Sri Kesari Warmadewa - (882-913)
2. Sri Ugrasena - (915-939)
3. Agni
4. Tabanendra Warmadewa
5. Candrabhaya Singa Warmadewa - (960-975)
6. Janasadhu Warmadewa
7. Sri Wijayamahadewi
8. Dharmodayana Warmadewa (Udayana) - (988-1011)
9. Gunapriya Dharmapatni (bersama Udayana) - (989-1001)
10. Sri Ajnadewi
11. Sri Marakata - (1022-1025)
12. Anak Wungsu - (1049-1077)
13. Dalem Madura
14. Sri Maharaja Sri Walaprabu - (1079-1088)
15. Sri Maharaja Sri Sakalendukirana - (1088-1098)
16. Sri Suradhipa - (1115-1119)
17. Sri Jayasakti - (1133-1150)
18. Ragajaya
19. Sri Maharaja Aji Jayapangus - (1178-1181)
20. Arjayadengjayaketana
21. Aji Ekajayalancana
22. Bhatara Guru Sri Adikuntiketana
23. Parameswara
24. Adidewalancana
25. Mahaguru Dharmottungga Warmadewa
26. Walajayakertaningrat (Sri Masula Masuli atau Dalem Buncing?)
27. Sri Astasura Ratna Bumi Banten (Dalem Bedahulu) - (1332-1343)
28. Dalem Tokawa (1343-1345)
29. Dalem Makambika (1345-1347) Setelah pemerintahan raja Sri Mahaguru tahun 1324-1328 M. Maka pemerintahan dipegang oleh Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten yang disebut dalam prasasti Patapan Langgahan tahunv1337 M. Selain itu ada pula sebuah patung yang disimpan di Pura Tegeh Koripan termasuk Desa Kintamani. Pada bagian belakang patung itu ada tulisan yang sangat rusak keadaannya. Baginda mengangkat seorang mangkubumi yang gagah perkasa bernama Ki Pasunggrigis, yang tinggal di desa Tengkulak dekat istana Bedahulu di mana raja Astasura bersemayam. Sebagai pembantunya diangkat Ki Kebo Iwa alias Kebo Taruna yang tinggal di Desa Belahbatuh. Para menterinya di sebutkan sebagai berikut : · Krian Girikmana tinggal di Desa Loring Giri (Buleleng)· Krian Tambiak tinggal di Desa Jimbaran· Krian Tunjung Tutur tinggal di desa Tenganan.· Krian Buahan tinggal di desa Batur· Krian Tunjung Biru di desa Gianyar· Krian Kopang tinggal di desa Seraya · Krian Walungsari tinggal di desa Taro.
Pasung Grigis Mahapatih Bedahulu
Pasung Grigis adalah mahapatih andalan kerajaan Bali pada masa pemerintahan Sri Astha Sura Ratna Bumi Banten pada abad ke-14. Ahli strategi militer yang bertempat tinggal di desa Tengkulak ini adalah mentor dari mahapatih Kebo Iwa.
Setelah kematian Kebo Iwa akibat tipu muslihat mahapatih Gajah Mada, Pasung Grigis memimipin perlawanan kerajaan Bali melawan ekspedisi militer Majapahit pada tahun 1343. Dalam perang yang berlangung sengit itu, panglima berpusaka keris Ki Padang Lembu ini kemudian tertawan dan akibatnya perlawanan rakyat Bali kemudian melemah dan akhirnya berakhir untuk sementara.
Pasung Grigis kemudian memutuskan untuk ikut bergabung dalam pemerintahan kerajaan vasal Bali bentukan Majapahit. Sebagai tanda kesetiaan ia diperintahkan memimpin pasukan Majapahit untuk memadamkan pemberontakan kerajaan Sumbawa yang dipimpin Raja Dedela Nata. Sumbawa berhasil ditaklukkan namun baik Pasung Grigis maupun Dedela Nata gugur, mati sampyuh, dalam sebuah duel. Kebo Iwa patih Kerajaan Bedahulu Kebo Iwa adalah salah seorang panglima militer Bali pada masa pemerintahan Prabu Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten pada awal abad ke-14. Nama lain dari Kebo Iwa adalah Kebo Wandira atau Kebo Taruna yang bermakna kerbau yang perjaka. Pada masa itu nama-nama binatang tertentu seperti kebo (kerbau), gajah, mahisa (banteng), banyak (angsa) lazim dipakai sebagai titel kehormatan khususnya di Bali ataupun Jawa. Panglima muda yang bertempat tinggal di desa Blahbatuh dan anak dari Panglima Rakyan Buncing ini sering digambarkan sebagai pemuda bertubuh tinggi besar yang mengusai seni perang selain ilmu arsitektur. Undagi (arsitek tradisonal Bali) ini membangun berbagai tempat ibadah di Bali dan tak segan-segan mengangkut sendiri batu-batu besar dengan kekuatan fisiknya. Mahapatih Majapahit, Gajah Mada, memandang Kebo Iwa dan Pasung Grigis, panglima Bali yang lebih senior dan ahli strategi militer, sebagai batu sandungan politik ekspansionisnya. Jalan yang ditempuh dengan tipu muslihat yaitu raja putri Tribhuwana Tunggadewi mengutus Gajah Mada ke Bali dengan membawa surat yang isinya seakan-akan raja putri menginginkan persahabatan dengan raja Bedahulu dan mengundang Kebo Iwa untuk datang ke Majapahit untuk dinikahkan dengan seorang putri dari Lemah Tulis sebagai tanda persahabatan antar kedua negara. Ketika Kebo Iwa tengah menggali sumur besar atas permintaan calon istrinya, pasukan Majapahit melemparinya dan menimbun sumur dengan batu. Di sinilah Kebo Iwa sadar bahwa kehadirannya di Majapahit memang untuk dibunuh. Di hadapan Gajah Mada ia berkata bahwa ia rela mati bukan karena kalah melawan Gajah Mada melainkan demi persatuan Nusantara. Gugurnya Kebo Iwa mempermudah ekspedisi penaklukan Bali yang dipimpin Adityawarman, panglima berdarah Singhasari-Dharmasraya, pada tahun 1343. Setelah mengetahui Kebo Iwa telah tewas terbunuh maka Prabu Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten memerintahkan Amangkubhumi Pasanggrigis menggantikan Kebo Iwa mengorganisir pasukannya untuk menghadapi serbuan tentara Majapahit Dalam rapat tersebut seluruh hadirin sepakat mempertahankan Bali dan tidak mau tunduk kepada Majapahit. Gajah Mada kemudian mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyerang Bali. Ekspedisi Gajah Mada ke Bali pada tahun 1334 dengan Candrasangkala Caka isu rasaksi nabhi (anak panah, rasa, mata pusat). Pasukan Majapahit dipimpin oleh Gajah Mada sendiri bersama panglima Arya Damar dibantu oleh beberapa Arya. Setelah sampai di pantai Banyuwangi, tentara Majapahit berhenti sebentar untuk mengatur siasat peperangan.
Penyerangan ini mengakibatkan terjadinya pertempuran antara pasukan Gajah Mada dengan kerajaan Bedahulu. Setelah Pasung Grigis menyerah terjadi kekosongan pemerintahan di Bali. Untuk itu, Majapahit menunjuk Sri Kresna Kepakisan untuk memimpin pemerintahan di Bali dengan pertimbangan bahwa Sri Kresna Kepakisan memiliki hubungan darah dengan penduduk Bali Aga.
Silsilah Sri Kresna Kepakisan
Tersebutlah Di Jawa ada pendeta maha sakti bernama Danghyang Bajrasatwa. Mempunyai 1 orang putra bernama Danghyang Tanuhun atau Mpu Lampita, beliau adalah pendeta Budha, memiliki kepandaian luar biasa serta bijaksana dan mahasakti seperti ayahnya Danghyang Bajrasatwa. Ida Danghyang Tanuhun berputra lima orang, dikenal dengan sebutan Panca Tirtha. Beliau Sang Panca Tirtha sangat terkenal keutamaan beliau semuanya.
1. Mpu Gnijaya. Beliau membuat pasraman di Gunung Lempuyang Madya, Bali Timur, datang di Bali pada tahun Isaka 971 atau tahun Masehi 1049. Beliaulah yang menurunkan Sang Sapta Resi - tujuh pendeta yang kemudian menurunkan keluarga besar Pasek di Bali
2. Mpu Semeru, membangun pasraman di Besakih, turun ke Bali tahun Isaka 921, tahun Masehi 999. Beliau mengangkat putra yakni Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah yang kemudian menurunkan keluarga Pasek Kayuselem.
3. Mpu Ghana, membangun pasraman di Dasar Gelgel Klungkung, datang di Bali pada tahun Isaka 922 atau tahun Masehi 1000.
4. Ida Empu Kuturan atau Mpu Rajakretha, datang di Bali tahun Isaka 923 atau tahun Masehi 1001, membangun pasraman di Silayukti, Teluk Padang atau Padangbai, Karangasem.
5. Ida Mpu Bharadah atau Mpu Pradah, menjadi pendeta kerajaan Prabu Airlangga di Kediri, Daha, Jawa Timur, berdiam di Lemah Tulis, Pajarakan, sekitar tahun Masehi 1000.
Mpu Kuturan demikian tersohornya di kawasan Bali, dikenal sebagai Pendeta pendamping Maharaja Sri Dharma Udayana Warmadewa, serta dikenal sebagai perancang pertemuan tiga sekte agama Hindu di Bali, yang disatukan di Samuan Tiga , Gianyar. Beliau pula yang merancang keberadaan desa pakraman - desa adat serta Kahyangan Tiga - tiga pura desa di Bali, yang sampai kini diwarisi masyarakat. Demikian banyaknya pura sebagai sthana Bhatara dibangun di Bali semasa beliau menjabat pendeta negara, termasuk Sad Kahyangan serta Kahyangan Jagat dan Dhang Kahyangan di kawasan Bali ini. Nama beliau tercantum di dalam berbagai prasasti dan lontar yang memuat tentang pura, upacara dan upakara atau sesajen serta Asta Kosala - kosali yang memuat tata cara membangun bangunan di Bali. Tercantum dalam lempengan prasasti seperti ini
"Ida sane ngawentenang pawarah - warah silakramaning bwana rwa nista madhya utama. lwirnya ngawangun kahyangan, mahayu palinggih Bhatara - Bhatari ring Bali lwirnya Puseh desa Walyagung Ulunswi Dalem sopana hana tata krama maring Bali, ayun sapara Bhatara lumingga maring Sad Kahyangan, neher sira umike sila krama" yang artinya: Beliau Mpu Kuturan yang mengadakan aturan tentang tatacara di dunia ini yang berhubungan dengan mikro dan makrokosmos dalam tingkat nista madya utama (sederhana, menengah dan utama), seperti membangun pura kahyangan, menyelenggarakan upacara sthana Bhatara-bhatari di Bali. Seperti Pura Puseh Desa, Baleagung, Ulunswi, Dalem, dan karena ada tata cara di Bali seperti itu berkenanlah para Bhatara bersthana di Sad Kahyangan, karena beliau yang mengadakan tata aturan tersebut.
Adiknya bernama Danghyang Mpu Bharadah mempunyai putra Iaki-laki dan keutamaan yoga beliau bernama Mpu Bahula. Bahula berarti utama. Kepandaian dan kesaktian beliau di dunia sama dengan ayahandanya Mpu Bharadah. Beliau memperistri putri dari Rangdeng Jirah - janda di Jirah atau Girah yang bernama Ni Dyah Ratna Manggali. Kisah ini terkenal dalam ceritera Calonarang. Empu Bahula berputra Iaki bernama Mpu Tantular, yang sangat pandai di dalam berbagai ilmu filsafat. Tidak ada menyamai dalam soal kependetaan, sama keutamaannya dengan Mpu Bahula, ayahandanya. Mpu Tantular adalah yang dikenal sebagai penyusun Kakawin Sutasoma di mana di dalamnya tercantum "Bhinneka Tunggal lka" yang menjadi semboyan negara Indonesia. Beliau juga bergelar Danghyang Angsokanata. Keberadaan beliau di Bali diperkirakan sejaman dengan pemerintahan raja Bali, Sri Haji Wungsu pada tahun Masehi 1049.
Ida Mpu Tantular atau Danghyang Angsokanata, berputra empat orang semuanya Iaki-laki.
1. Mpu Danghyang Panawasikan
2. Mpu Bekung atau Danghyang Siddhimantra
3. Mpu Danghyang Smaranatha
4. Mpu Danghyang Soma Kapakisan.
Danghyang Soma Kapakisan, yang menjadi guru dari Mahapatih Gajahmada di Majapahit Ida Danghyang Panawasikan memiliki putri seorang, demikian cantiknya, diperistri oleh Danghyang Nirartha.
Ida Danghyang Smaranatha, memiliki dua orang putra,
1. Danghyang Angsoka, berdiam di Jawa melaksanakan paham Budha Danghyang Angsoka berputra Danghyang Astapaka, yang membangun pasraman di Taman Sari, yang kemudian menurunkan Brahmana Budha di Pulau Bali.
2. Danghyang Nirartha, atau Danghyang Dwijendra, Peranda Sakti Wawu Rawuh dan dikenal juga dengan sebutan Tuan Semeru. Beliau melaksanakan paham Siwa, serta menurunkan keluarga besar Brahmana Siwa di Bali yakni, Ida Kemenuh, Ida Manuaba, Ida Keniten, Ida Mas serta Ida Patapan.
Ida Danghyang Soma Kapakisan yang berdiam di kawasan kerajaan Majapahit. berputra Ida Kresna Wang Bang Kapakisan, ketika Sri Maharaja Kala Gemet memegang kekuasaan di Majapahit. Ida Kresna Wang Bang Kapakisan mempunyai putra empat orang, semuanya diberi kekuasaan oleh Raja Majapahit, yakni beliau yang sulung menjadi raja di Blambangan, adiknya di Pasuruhan, yang wanita di Sumbawa. dan yang paling bungsu di kawasan Bali. Yang menjadi raja di Bali bernama Dalem Ketut Kresna Kapakisan menurunkan para raja yang bergelar Dalem keturunan Kresna Kepakisan di Bali.
Dalem Ketut Kresna Kepakisan datang di Bali dan beristana di Samprangan, didampingi oleh l Gusti Nyuh Aya di Nyuh Aya sebagai mahapatih Dalem. Dalam pemerintahannya Kresna Kepakisan didampingi para arya dan mengambil tempat masing-masing.
1. Arya Kanuruhan di Tangkas
2. Arya Wangbang di Sukahet
3. Arya Demung di kertalangu
4. Arya Kepakisan
5. Arya Temenggung di Petemon
6. Arya Kenceng di Tabanan
7. Arya Dalancang di Kapal
8. Arya Belog di Kaba Kaba
9. Arya Manguri
10. Arya Pangalasan
11. Arya Kutawaringin di Klungkung
12. Arya Gajah Para di Toya Anyar
13. Arya Getas di Toya Anyar
14. Arya Belentong di Pacung
15. Arya Sentong di Carangsari
16. Kriyan Punta di Mambal
17. Arya Jerudeh di Tamukti
18. Arya Melel Cengkrong di Jembrana
19. Arya Pamacekan di Bondalem
20. Sang Tri Wesya: Si Tan Kober di Pacung, Si Tan Kawur di Abiansemal
Si Tan Mundur di Cegaha
Demikian dikatakan di Babad Dalem.Sisa peninggalan Kerajaan Bedahulu
Kekawin Jawa dari abad ke-14, Nagarakertagama, memberikan beberapa bukti bagaimana kebudayaan Majapahit menyebar ke Bali. Pada abad ke-14, Bali adalah bagian dari Majapahit, meskipun kekuasaan hegemoni yang nyata masih belum jelas. Pada waktu itu penguasa-penguasa Bali secara teratur membawa sumbangan bulanan berupa hasil pajak produksi. Prasasti-prasasti Bali yang tertulis dalam bahasa Sansekerta dan bahasa Bali Kuno seperti halnya prasasti Blanjong, memberikan bukti dari tidak adanya pengaruh India di Bali sebelum abad ke-10.
Gunung Kawi Peninggalan Bedahulu
Pada waktu itu bahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi berubah dari bahasa Bali Kuno ke bahasa Jawa Kuno dan tulisan-tulisan Jawa mulai ditiru. Perubahan-perubahan ini menandai dominasi kebudayaan Jawa yang berlangsung berkenaan dengan perubahan-perubahan politik antara Jawa dan Bali. Babad dalem. Sebuah karya sejarah orang Bali yang berkenan dengan sejarah orang Bali dari abad ke-14 sampai abad ke-17 menyebutkan bahwa Gajah Mada yang pada waktu sebagai
Perdana Menteri Majapahit, mengangkat Danghyang Kepakisan sebagai adipati di Bali. Ini terjadi karena setelah kekalahan raja Bedahulu Dinasti baru yang dipusatkan pada Puri Kepakisan di Samprangan banyak mempengaruhi formasi dari kebudayaan Bali.
Dari Babad Dalem kita juga mengetahui bahwa raja Majapahit memberikan sejumlah lambang (simbol) kesetiaan untuk menghiasi puri sebagaimana halnya sebilah keris I Gaja-Dungkul dan sejumlah pakaian kebesaran kerajaan yang memberikan konsep kebudayaan yang memadukan kebudayaan Jawa dengan Bali, dan tanda-tanda kebesaran itu berfungsi sebagai symbol atau lambang kekuasaan yang sah. Namun demikian, Kresna Kepakisan menghadapi pemberontakan-pemberontakan dari desa-desa yang tidak mengakui status dari istana (puri). Tercatat desa-desa yang pernah melakukan perlawanan terhadap hegemoni Majapahit pada jaman Kresna Kepakisan antara lain : Batur, Songan, Culik, Cempaga, Kedisan, Abang, Pinggang, Munti, Tludu, Cintamani, Serahi, Manik Liuk, dan lain-lain. Untuk memecahkan persoalan ini, Gajah Mada memberikan nasehat kepada Kresna Kepakisan, serta simbul-simbul kekuasaan dalam bentuk pakaian kebesaran.
Pada akhir abad ke-17 suatu pemberontakan serius pecah di kerajaan Gelgel dan dalam tahun 1686-1687 istana yang utama pindah ke Klungkung. Pada waktu itu struktur kerajaan Gelgel merupakan struktur negara kesatuan yang terdesentralisasi, sedangkan struktur politik kerajaan Klungkung lebih mendekati federasi. Nama Badung menjadi terkenal dalam sejarah Bali pada waktu itu, ketika Jambepule, Raja Badung ikut pertempuran untuk menyerang penguasa di Gelgel. Pada waktu itu diduga Badung hanyalah desa kecil sebab Gelgel di percaya telah menjadi satu-satunya kerajaan di Bali.
Goa Lawah salah satu peninggalan Kerajaan Bedahulu
Perlawanan kerajaan Bedulu terhadap Majapahit oleh legenda masyarakat Bali dianggap melambangkan perlawanan penduduk Bali asli (Bali Aga) terhadap serangan Jawa (Wong Majapahit).
Beberapa tempat terpencil di Bali masih memelihara adat-istiadat Bali Aga, misalnya di Desa Trunyan, Kecamatan kintamani, Kabupaten Bangli; di Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem; serta di desa-desa Sembiran, Cempaga Sidatapa, Pedawa, Tiga Was, Padangbulia di Kabupaten Buleleng.
Beberapa obyek wisata yang dianggap merupakan peninggalan kerajaan Bedulu, antara lain adalah pura Jero Agung, Samuan Tiga, Goa Gajah, Pura Bukit Sinunggal.
Goa Gajah baru ditemukan kembali pada tahun 1923. Walaupun Lwa Gajah dan Bedahulu, yang sekarang menjadi Goa Gajah dan Bedahulu, telah disebutkan di dalam kitab Nagarakertagama ditulis pada tahun 1365 M. Pada tahun 1954, ditemukan kembali kolam petirtaan di depan Goa yang kemudian disusul dengan pemugaran dan pemasangan kembali area-area pancuran yang semula terletak di depan Goa dalam keadaan tidak lengkap. Kekunoan Pura Goa Gajah dapat dibagi menjadi dua bagian.
Pura Goa Gajah yang dikalangan penduduk setempat lebih dikenal dengan nama Pura Goa, terletak disebelah barat desa Bedahulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar, kira-kira 27 Km dari Denpasar. Suatu kunjungan ke Pura ini dapat dilakukan dengan mudah, karena letaknya hanya beberapa meter di bawah jalan raya menuju desa Tampaksiring. Sesungguhnya Pura ini dibangun di embah sungai Petanu, dengan panorama alam yang indah, disela-sela pohon-pohon nyiur dan sebuah sungai kecil bercampur dengan Sungai Petanu dibawahnya.
Bagian utara terdiri dari sebuah Goa Alam yang dipahat berbentuk huruf "T". Di dalam Goa ini terdapat sebuah arca Ganesa, yang dianggap sebagai Dewa Ilmu Pengetahuan, fragmen-fragmen arca dan sebuah trilangga yang dikelilingi oleh delapan buah lingga kecil-kecil. Pada bagian dinding Goa, terdapat ceruk-ceruk pertapaan dan bagian muka Goa, kecuali dihiasi dengan pahatan yang menggambarkan sebuah hutan belantara dengan isinya, juga dilengkapi dengan sebuah kepala kala memakai subang.
Di dinding Goa terdapat juga prasasti singkat yang berbunyi "Kumon" dan "sahywangsa", yang menurut tipe hurufnya diduga berasal dari abad 11 M. Di sebelah barat Goa, di dalam sebuah bangunan terdapat sebuah arca jongkok, Ganesa dan arca Men Brayut yang di dalam mitologi agama Budha dikenal sebagai Hariti, penyelamat anak-anak.
Di depan Goa, kecuali arca penjaga, terdapat juga fragmen-fragmen bangunan yang tidak diketahui asal usulnya, seperti fragmen-fragmen bangunan yang sekarang tidak dikumpulkan di halaman pura di sebelah barat kolam petirtaan.
Arca-arca pancuran yang sekarang telah berfungsi kembali di dalam kolam petirtaan yang dibagi menjadi tiga bagian, menurut gayanya diduga berasal dari abad 11 M. Sayang sekali arca pancuran yang terletak di kolam paling tengah, belum ditemukan hingga sekarang. Di sebelah kanan Goa, memang terdapat sebuah arca Pancuran Ganesa, tetapi ternyata tidak cocok dengan kolam yang paling tengah tadi.
Adapun bagian yang kedua dari Pura Goa Gajah ialah bagian sebelah Tenggara. Di sini terdapat dua buah arca Budha, yang sebuah tanpa kepala dan sebuah lagi masih cukup baik dengan gaya Jawa Tengah. Di sebelah utara arca ini, masih kelihatan melekat di tebing yaitu bagian kaki dari candi tebing yang bagian atasnya telah lama jatuh ke dalam sungai kecil. Di dalam sungai kecil ini terdapat relief stupa bercabang tiga, reruntuhan candi tebing dengan pahatan-pahatan yang indah. Di sebelah barat sungai kecil ini terdapat sebuah ceruk pertapaan.
Berdasarkan temuan kepurbakalaan tersebut di atas, dapat diketahui, bahwa Pura Goa Gajah berasal dari abad 9 dan 11 M. Yang dahulu kala berfungsi sebagai tempat pertapaan Bhiksu Buddha dan Pendeta Siwa. Kekunoan ini juga menunjukkan penyatuan ajaran agama Buddha dan Siwa berlangsung dengan baik.
Di seberang jalan raya di atas Pura Goa Gajah terdapat sebuah pura yang disebut pura Jempinis yang dalam ritual keagamaan masih mempunyai hubungan erat sekali denga Pura Goa Gajah. Di sini juga terdapat beberapa arca kuno dan fragmen - fragmen bangunan.
0 Response to "KERAJAAN PAGARUYUNG (PADANG)"
Posting Komentar